Lensawarta – Askolani, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, mengungkapkan bahwa insiden penahanan peralatan pendidikan khusus untuk Sekolah Luar Biasa (SLB) dan permintaan pembayaran bea masuk yang signifikan adalah hasil dari kesalahpahaman komunikatif. Sebuah paket berisi 20 keyboard braille yang merupakan donasi dari OHFA Tech, Korea Selatan, seharusnya telah diterima oleh SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta sejak Desember 2022, namun terhambat karena tarif bea masuk yang tinggi.
Dalam konferensi pers yang diadakan di kantor DHL Express Indonesia di Tangerang, Askolani menjelaskan bahwa terdapat kegagalan komunikasi antara SLB, Dinas Pendidikan, dan DHL Express Indonesia, yang berakibat pada ketidaktahuan Bea Cukai mengenai status hibah dari peralatan tersebut.
“Kami mengakui adanya kekurangan dalam komunikasi antar lembaga yang berujung pada penanganan yang tidak tepat,” kata Askolani. “Awalnya, keyboard braille ini dikirim sebagai barang kiriman melalui DHL, bukan sebagai hibah, sehingga dikenakan tarif sesuai dengan regulasi pemerintah.”
Bea Cukai sempat menilai barang tersebut senilai Rp 361,03 juta dan meminta sekolah untuk membayar Pemberitahuan Impor Barang Khusus sebesar Rp 116 juta, ditambah biaya penyimpanan harian di gudang. “Tanpa informasi tentang status hibahnya, kami memprosesnya sebagai barang kiriman biasa, yang tentunya memiliki tarif kepabeanan,” tambah Askolani.
Barang tersebut tidak diproses lebih lanjut pada tahun 2022 dan hanya disimpan di gudang DHL, di mana Bea Cukai tidak memiliki kendali atasnya. “Pada tahun 2023, kami meminta DHL untuk memperbarui alamat dan dokumen terkait, namun komunikasi ini tidak sampai ke Bea Cukai. Kami hanya diberitahu bahwa ini adalah barang kiriman, sehingga kami memberikan informasi tarifnya,” jelas Askolani.
Setelah menjadi perhatian publik melalui media sosial pada tahun 2024, Bea Cukai mengambil langkah untuk menyelesaikan masalah ini dan menemukan bahwa barang tersebut sebenarnya adalah hibah. Pemerintah kemudian memfasilitasi agar 20 keyboard braille tersebut dibebaskan dari bea masuk, sesuai dengan regulasi yang mendukung donasi untuk pendidikan dan kegiatan sosial.
“Kami tidak menyadari bahwa ini adalah hibah sampai kami diberitahu. Setelah itu, kami memberikan solusi,” ujar Askolani. Kini, 20 keyboard braille telah diserahkan kepada Plt Kepala SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta, Dedeh Kurniasih, yang menyatakan rasa syukurnya karena alat bantu tersebut akhirnya dapat digunakan oleh anak-anak tunanetra. Dedeh juga menyampaikan permohonan maaf atas ketidaktahuan prosedur pengiriman barang hibah yang menyebabkan miskomunikasi dan sorotan publik.
Tinggalkan Balasan