Lumajang, 19 Maret 2025 – Kebersamaan dan toleransi terlihat jelas di Desa Senduro menjelang Hari Raya Nyepi. Saat warga Hindu sibuk membuat ogoh-ogoh, patung yang melambangkan kejahatan yang akan diarak di Malam Tawur Kesanga, umat Muslim turut membantu.
Di halaman yang luas, banyak orang terlihat menempelkan kertas, mengecat, dan merangkai detail ogoh-ogoh. Menariknya, bukan hanya umat Hindu, tetapi juga warga Muslim dan penganut agama lain terlibat. Mereka bekerja sama tanpa memperhatikan perbedaan, menghidupkan tradisi gotong royong yang sudah ada di desa ini.
Toleransi yang Sudah Lama Ada
Wira Dharma, seorang tokoh Hindu, mengatakan bahwa kerja sama antaragama ini sudah berlangsung bertahun-tahun.
“Setiap tahun, teman-teman Muslim ikut membantu. Ada yang mengecat, memahat, bahkan menyiapkan makanan untuk pekerja. Ini bukan hanya soal perayaan, tapi juga tentang persaudaraan yang semakin erat,” jelasnya.
Dia menjelaskan bahwa toleransi di Senduro sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sejak kecil, ia dan teman-teman dari berbagai agama sudah terbiasa bersama dalam berbagai kegiatan, termasuk persiapan upacara keagamaan.
Nyono, warga Muslim lainnya, juga terlibat dalam pembuatan ogoh-ogoh. Ia tampak serius menghaluskan wajah patung dengan kuas kecil.
“Saya suka seni, jadi setiap tahun saya tunggu momen ini. Teman-teman Hindu mengajarkan cara membuat ogoh-ogoh, dan saya juga berbagi ilmu seni tari. Ini sangat indah,” katanya.
Bagi Nyono, ikut serta dalam pembuatan ogoh-ogoh adalah bentuk penghormatan terhadap tradisi masyarakat Senduro.
“Kami saling mendukung. Saat Idulfitri, umat Hindu juga membantu menyiapkan hidangan atau membersihkan masjid. Hubungan kami sudah layaknya saudara,” tambahnya.
Simbol Kebersamaan dalam Ogoh-Ogoh
Pembuatan ogoh-ogoh di Senduro bukan pekerjaan mudah. Patung ini lebih dari tiga meter tinggi, dengan wajah yang menyeramkan. Detilnya mencerminkan budaya Hindu. Prosesnya memakan waktu hampir dua minggu dan melibatkan banyak orang.
Malam semakin larut, tetapi semangat warga tetap tinggi. Pemuda Muslim dan Hindu berdiskusi tentang desain ogoh-ogoh. Mereka memastikan setiap detail sesuai harapan. Ada yang mengusulkan tambahan ornamen, dan ada yang menyiapkan tempat penyimpanan untuk arak-arakan pada 28 Maret nanti.
“Kami ingin hasilnya maksimal. Meskipun ini tradisi Hindu, kami merasa memiliki karena membuatnya bersama,” ujar Nyono dengan senyum.
Wira Dharma juga merasakan bahwa tradisi ini mempererat ikatan antarwarga.
“Kerja sama dalam perayaan seperti ini memperkuat hubungan kami. Perbedaan tidak menjauhkan, tetapi mendekatkan,” tuturnya.
Nilai Toleransi yang Dijaga
Bagi warga Senduro, ogoh-ogoh lebih dari sekadar patung. Itu simbol kebersamaan dan harmoni. Perayaan Nyepi bukan hanya milik umat Hindu; semua warga merasakan dampaknya.
“Kami ingin anak muda melihat ini sebagai contoh nyata bahwa keberagaman adalah kekuatan. Dalam budaya dan setiap hari,” kata Wira.
Nyono setuju. Bagi dia, kegiatan ini mengajarkan pentingnya hidup berdampingan.
“Jika kita saling memahami, perbedaan justru membuat hidup lebih berwarna,” ujarnya.
Saat ogoh-ogoh hampir selesai, warga beristirahat sambil menikmati teh dan jajanan tradisional. Tawa dan cerita menghangatkan suasana setelah seharian bekerja.
Wira bangga melihat hasil kerja keras mereka. “Inilah wajah Senduro. Wajah penuh toleransi, di mana perbedaan tak jadi alasan untuk terpisah, tapi untuk bersatu lebih erat,” ungkapnya.
Ketika Malam Tawur Kesanga tiba, ogoh-ogoh akan diarak sebelum dibakar. Ini simbol pembersihan diri. Bagi warga Senduro, api yang membakar ogoh-ogoh tidak hanya menghilangkan sifat buruk, tapi juga menghangatkan persaudaraan yang telah terjalin erat.
Tinggalkan Balasan