Lumajang, – Gelaran budaya Segoro Topeng Kali Wungu yang berhasil menembus program Karisma Event Nusantara (KEN) 2025 menjadi kebanggaan Lumajang sekaligus momentum penting untuk mempromosikan budaya dan pariwisata daerah.
Namun, di balik prestasi ini, terdapat persoalan serius yang mengancam keberlanjutan dan keaslian event tersebut, dominasi event organizer (EO) dari luar daerah yang mengelola acara ini, sementara EO dan sanggar seni lokal justru sulit mendapatkan ruang bersaing.
Ketua Kadin Lumajang, Agus Setiawan, mengatakan, agar tahun ini diadakan mekanisme bidding atau beauty contest yang transparan untuk memberi kesempatan kepada EO dan sanggar lokal mengajukan konsep mereka.
Menurut Agus, keterlibatan pelaku lokal bukan hanya soal keadilan, melainkan kunci utama keberlanjutan pariwisata berbasis budaya.
“Segoro Topeng Kali Wungu seharusnya menjadi wadah pengembangan seni budaya yang melibatkan pelaku lokal secara penuh, bukan sekadar panggung hiburan yang dikelola oleh pihak luar,” tegas Agus, Minggu (11/5/25).
Ia menambahkan, tanpa pemberdayaan EO dan sanggar lokal, potensi ekonomi kreatif masyarakat sekitar sulit berkembang optimal.
Fenomena ini mencerminkan kegagalan paradigma pengelolaan pariwisata Lumajang yang masih terjebak pada pendekatan top-down dan kurang inklusif. Padahal, pariwisata berkelanjutan menuntut sinergi antara pelestarian alam, pengembangan seni budaya, dan pemberdayaan masyarakat lokal secara simultan.
“Lumajang masih tertinggal dibanding destinasi wisata maju seperti Bali yang berhasil mengintegrasikan pusat oleh-oleh, sanggar seni, dan ekonomi kreatif dalam setiap event budaya,” jelasnya.
Lebih jauh, Dinas Pariwisata Lumajang sering menyebut Segoro Topeng Kaliwungu sebagai sarana promosi budaya dan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal.
“Namun, tanpa perubahan paradigma dalam pengelolaan yang membuka ruang bagi pelaku lokal, kata-kata ini hanya menjadi jargon tanpa implementasi nyata,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan