Lumajang, – Pemerintah Kabupaten Lumajang mempertanyakan penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) campak oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dalam rilis resmi Kemenkes hingga pekan ke-33 tahun 2025, Lumajang tercatat sebagai salah satu dari 46 kabupaten/kota di Indonesia yang dinyatakan mengalami KLB campak. Namun, Pemkab Lumajang menyebut klaim tersebut tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Sementara itu, menurut WHO, Campak dikatakan KLB jika terdapat 5 kasus campak per 100.000 penduduk. Sedangkan di Indonesia kasus campak di katakan KLB ada berbagai kriteria salah satunya adalah jika terdapat 2 kasus campak positif pada tersangka suspek campak yang ditandai dengan 2 spesimen IgM (Imunoglobulin M) positif. Seperti diketahui Ig M adalah antibody yang muncul sebagai tanda awal adanya infeksi pada tubuh.
Bupati Lumajang, Indah Amperawati, menyatakan pihaknya belum menemukan adanya klaster penyebaran campak yang mengarah pada situasi darurat kesehatan masyarakat.
Menurutnya, jumlah kasus yang terdeteksi sejauh ini sangat kecil dan belum memenuhi kriteria untuk dikategorikan sebagai KLB.
Baca juga: KLB Campak di Lumajang: 42 Kasus Suspek, Imunisasi Rendah Jadi Sorotan
“Salah mungkin ya rilis Kemenkes itu. Jumlah kasus campak di Lumajang kecil, kok bisa dibilang KLB? Tidak ada lonjakan kasus, apalagi klaster desa,” kata Indah, Jumat (29/8/25).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (Dinkes-P2KB) Lumajang, sepanjang tahun 2025 hanya tercatat 42 kasus suspek campak.
Baca juga: 2.608 Personel Diterjunkan Untuk Amankan Aksi Massa di Surabaya
Dari jumlah tersebut, 16 di antaranya dinyatakan positif, dan hanya dua kasus positif terjadi sepanjang bulan Agustus 2025.
Indah menegaskan status KLB seharusnya ditetapkan jika terdapat peningkatan tajam kasus di suatu kelompok masyarakat, misalnya dalam satu desa atau klaster sekolah. Sementara itu, di Lumajang tidak ditemukan satu pun desa yang memiliki lonjakan kasus atau menunjukkan pola penularan masif.
“Yang namanya KLB itu terjadi kalau dalam satu klaster atau desa ada ratusan kasus. Sekarang coba dicek, desa mana di Lumajang yang seperti itu? Tidak ada,” imbuhnya.
Ia juga menyayangkan bahwa penetapan status darurat oleh pemerintah pusat dapat memicu stigma terhadap daerah, apalagi jika data yang digunakan tidak menggambarkan kondisi faktual di wilayah tersebut.
Untuk itu, Pemkab Lumajang berencana mengajukan klarifikasi resmi kepada Kementerian Kesehatan. Mereka berharap ada evaluasi atas penetapan KLB yang dinilai tidak proporsional terhadap jumlah kasus yang sebenarnya minim.
“Kami akan sampaikan klarifikasi. Jumlahnya kecil, tapi disebut KLB, ini membingungkan masyarakat dan bisa berdampak pada citra daerah,” tutup Indah.
Tinggalkan Balasan