Lumajang, – Di kaki megah Gunung Semeru, tepatnya di Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, kehidupan pernah berjalan dalam kegelapan.
Saat matahari terbenam di balik gunung, desa kecil itu tenggelam dalam sunyi. Hanya nyala lampu minyak yang redup menandai aktivitas malam warga tak cukup terang untuk membaca, tak cukup kuat untuk bekerja.
Kini, lebih dari 116 rumah di dusun tersebut terang benderang setiap malam. Anak-anak belajar tanpa harus memicingkan mata, ibu-ibu bisa menenun dan memasak tanpa takut kehabisan minyak tanah.
Sumber terangnya? Sebuah sungai kecil yang mengalir di tepi desa, dan seorang pria bernama Sucipto (61) yang mengubah aliran air menjadi aliran listrik.
Perubahan besar itu bermula tiga dekade lalu, pada tahun 1992. Saat itu, listrik belum menjangkau dusun di lereng Semeru ini. Warga hanya bisa berharap pada lampu minyak yang sering membuat mata perih dan kantong kering.
Sucipto, lulusan teknik mesin dari IKIP PGRI Malang (kini Universitas Negeri Malang), tak tega melihat anak-anak belajar di bawah cahaya remang.
Ia teringat filosofi sederhana, Air adalah sumber kehidupan. Dari situlah gagasan muncul jika air bisa menghidupi alam, mengapa tidak dijadikan sumber penerangan untuk manusia?
Dengan pengetahuan yang ia punya dan peralatan seadanya, Sucipto mulai merancang turbin air sederhana.
Di bengkel kecil di belakang rumah, ia membuat pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Proyek kecil yang lahir dari niat besar.
“Awalnya hanya ingin membuat lampu menyala di rumah sendiri. Tapi setelah berhasil, saya pikir, kenapa tidak sekalian untuk semua warga?” katanya, Senin (10/11/25).
Sejak PLTMH buatan Sucipto mulai beroperasi, kehidupan warga berubah drastis. Malam-malam di Kajar Kuning tak lagi gelap. Suara tawa anak-anak yang belajar hingga larut malam terdengar dari rumah-rumah yang kini terang benderang.
Para orang tua juga tak lagi repot membeli minyak tanah, yang dulu menjadi kebutuhan pokok saat listrik belum ada. Warga kini bisa menyalakan televisi, mengisi baterai ponsel, bahkan menggunakan alat pertanian kecil yang memudahkan pekerjaan mereka.
PLTMH bukan hanya soal listrik, tapi juga tentang kemandirian dan perubahan sosial. Warga belajar mengelola energi sendiri, bergotong royong menjaga kebersihan sungai agar turbin tetap berputar.
Meski hasilnya luar biasa, perjuangan Sucipto tidak mulus. Ia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari debit air yang menurun saat kemarau, hingga sampah dan ranting yang menyumbat turbin saat banjir. Setiap hari ia turun ke sungai, memastikan aliran air tetap lancar.
“Kalau malam hujan besar, saya biasanya langsung ke sungai. Takut ada yang nyumbat, nanti listrik mati,” tuturnya.
Bahkan, pernah suatu ketika, warga yang kesal karena listrik padam sempat membakar pembangkit mikrohidro buatannya. Namun, bukannya menyerah, Sucipto justru memperbaikinya kembali. Ia yakin, apa yang ia lakukan membawa manfaat besar bagi banyak orang.
“Kalau saya berhenti, berarti yang gelap bukan cuma rumah-rumah, tapi juga hati,” katanya lirih.
Kini, meskipun listrik PLN telah masuk ke Desa Sumberwuluh, PLTMH buatan Sucipto tetap digunakan. Bagi warga, sumber listrik dari sungai adalah cadangan yang berharga, sekaligus simbol perjuangan dan kemandirian mereka.
“Kalau PLN padam, kami masih punya listrik dari sungai. Berkat Pak Cip, kami tidak takut gelap lagi,” kata Sugiati watga setempat.
Tinggalkan Balasan