Lensa Warta – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi menerapkan tarif sebesar 32 persen bagi produk asal Indonesia yang masuk ke AS mulai Rabu Kebijakan ini diumumkan melalui akun Instagram resmi Gedung Putih @whitehouse pada Kamis 3 April 2025.
Selain Indonesia, beberapa negara Asia Tenggara lainnya juga terkena kebijakan ini dengan tarif yang bervariasi, seperti Vietnam (46 persen), Thailand (36 persen), Malaysia (24 persen), dan Kamboja (49 persen).
Trump menjelaskan bahwa tarif ini merupakan bentuk pembalasan terhadap negara-negara yang menerapkan tarif tinggi terhadap produk AS.
Indonesia, misalnya, dikenai tarif 32 persen karena dinilai mengenakan tarif lebih tinggi terhadap produk etanol asal AS.
Menurut laman resmi Gedung Putih, Indonesia menerapkan tarif 30 persen untuk produk etanol dari AS, sementara AS hanya mengenakan tarif 2,5 persen untuk produk yang sama.
Trump juga menyoroti kebijakan ekonomi Indonesia yang dianggap sebagai hambatan bagi perusahaan asing, seperti:
1. Persyaratan konten lokal di berbagai sektor yang mewajibkan perusahaan menggunakan sebagian komponen dalam negeri.
2. Regulasi impor yang kompleks, yang dianggap mempersulit perusahaan AS untuk memasuki pasar Indonesia.
3. Kebijakan pemindahan pendapatan ekspor, yang mulai tahun ini mewajibkan perusahaan sumber daya alam untuk membawa pendapatan ekspor senilai lebih dari 250.000 dollar AS (sekitar Rp4,1 miliar) ke dalam negeri.
Dalam pernyataannya, Trump menegaskan bahwa kebijakan tarif ini bertujuan untuk memberikan insentif kepada perusahaan AS agar memproduksi barang di dalam negeri, meningkatkan pendapatan pemerintah federal, serta menggantikan pajak penghasilan.
“Negara kita dan para pembayar pajaknya telah ditipu selama lima puluh tahun, tetapi hal itu tidak akan terjadi lagi,” ujar Trump.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat berdampak buruk bagi ekonomi Indonesia.
Menurutnya, tarif 32 persen dapat memicu resesi ekonomi pada kuartal IV 2025 serta mengurangi volume ekspor ke AS dan negara lain.
Dampak lain yang dikhawatirkan adalah:
1. Terancamnya sektor otomotif dan elektronik, karena tarif yang tinggi membuat harga produk Indonesia menjadi lebih mahal di AS, sehingga permintaan turun.
2. Gelombang PHK, karena produsen otomotif Indonesia kesulitan mengalihkan produksi ke pasar domestik akibat spesifikasi produk yang berbeda.
3. Penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,08 persen, akibat anjloknya ekspor di sektor industri padat karya seperti pakaian jadi dan tekstil.
“Begitu kena tarif yang lebih tinggi, brand itu akan turunkan jumlah order atau pemesanan ke pabrik Indonesia. Sementara di dalam negeri, kita bakal dibanjiri produk Vietnam, Kamboja, dan China karena mereka incar pasar alternatif,” jelas Bhima.
Pemerintah Indonesia kini menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan daya saing industri dalam negeri di tengah tekanan perdagangan global yang semakin kompleks.
Tinggalkan Balasan