Lumajang, – Jalur Piket Nol yang selama ini menjadi penghubung penting antara Lumajang dan Malang, kini menghadapi ujian berat akibat longsor yang terjadi secara beruntun dalam tiga hari terakhir.
Terparah adalah longsor dengan enam titik sekaligus yang menutup akses jalan dan mengguncang aktivitas ekonomi serta mobilitas warga sekitar.
Longsor yang menimbun badan jalan dengan material batu, tanah, hingga pohon tumbang setinggi hampir 20 meter ini menimbulkan kemacetan panjang dan kekhawatiran serius akan keselamatan pengguna jalan.
Baca juga: Bumi Perkemahan Glagah Arum: Glamping Mewah, Film Klasik, dan Kuliner Otentik di Lereng Semeru
Sejak Selasa (29/7/25), longsor sudah mulai terjadi, namun bertambah parah saat Kamis (31/7/25) ketika titik longsor bertambah menjadi enam lokasi, terutama di sekitar Jembatan Gladak Perak, kilometer 54-57.
Salah seorang warga Malang, Anang, menceritakan pengalamannya terjebak di tengah kemacetan panjang akibat longsor ini.
Baca juga: Longsor Tutup Total Jalur Lumajang-Malang, Ratusan Kendaraan Terjebak
“Saya hendak ke Bali untuk kerja, tapi terpaksa menunda perjalanan selama dua jam karena jalan tertutup. Setelah jalan terbuka sebentar, longsor kembali terjadi di titik lain,” katanya.
Evakuasi dan pembersihan material longsor menjadi tugas berat bagi petugas. Meskipun satu unit alat berat dikerahkan, medan yang sulit dan cuaca buruk dengan intensitas hujan yang tinggi memperlambat proses.
Baca juga: Longsor Susulan Tutup Jalur Lumajang–Malang, Akses Terhambat
Kayu besar dan batu besar yang menghalangi jalan tidak mudah dipindahkan dengan cepat, sehingga akses jalan tetap tertutup dan memaksa pengendara mencari jalur alternatif.
Kepala Satlantas Polres Lumajang AKP Syaikhu, mengingatkan masyarakat untuk tidak memaksakan diri melintasi jalur ini, apalagi saat hujan.
Pergeseran tanah yang terjadi di kawasan perbukitan Piket Nol dinilai sangat berbahaya dan potensi longsor susulan masih tinggi.
“Kami sudah memasang rambu peringatan dan mengarahkan pengendara untuk menggunakan jalur alternatif via Probolinggo atau Curah Kobokan, meski jalur alternatif ini juga memiliki risiko jika terjadi banjir lahar dari Gunung Semeru,” ujar Syaikhu.
Tinggalkan Balasan