Lumajang, – Angka korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dari Kabupaten Lumajang menunjukkan realitas yang mencengangkan.
Sebanyak 17 warga berasal dari Kecamatan Kunir, 8 dari Kecamatan Lumajang, dan sekitar 200 orang dari Kecamatan Pasirian. Data ini bukan sekadar deretan angka, melainkan potret nyata kegagalan sistem perlindungan terhadap warga yang rentan.
“Angka itu bukan hanya statistik. Itu adalah wajah-wajah anak bangsa yang gagal kita jaga,” tegas Bupati Lumajang, Indah Amperawati, Sabtu (9/8/25).
Baca juga: Petani Pisang Mas Kirana Lumajang Dapat Alat Modern, Siap Tembus Pasar Ekspor Global
Bupati Lumajang yang akrab disapa Bunda Indah menyampaikan, perdagangan orang merupakan kejahatan sistemik yang tak bisa dihadapi dengan pendekatan biasa.
“TPPO adalah kejahatan terorganisir. Ia bekerja secara diam-diam, melewati batas administratif, dan memangsa kelompok paling rentan. Kita tidak bisa melawannya dengan cara biasa,” ujarnya.
Sejak 2022, Lumajang telah membentuk Gugus Tugas TPPO melalui SK Bupati Nomor 188.45/522/427.12/2022. Gugus tugas ini tidak hanya bertugas mencegah dan menindak, tetapi juga menjamin perlindungan dan pemulihan bagi korban TPPO.
Pendekatannya bersifat lintas sektor, melibatkan aparat penegak hukum, pemerintah desa, Dinas Tenaga Kerja, hingga imigrasi.
Baca juga: Kampung Tematik, Solusi Pemkab Lumajang Bangun Permukiman Sehat dan Layak
Sebagian besar korban berasal dari latar belakang ekonomi lemah dan menjadi sasaran sindikat melalui skema penipuan, rekrutmen ilegal, hingga janji kerja ke luar negeri yang menyesatkan.
Tak jarang mereka akhirnya dieksploitasi sebagai pekerja tanpa upah layak, bahkan dalam kondisi nyaris perbudakan modern.
“Kita tidak bisa bekerja sendiri-sendiri. Sistem perlindungan warga harus dibangun secara integratif. Jika wilayah bergerak sendiri-sendiri, sindikat akan selalu satu langkah di depan,” tandasnya.
Setidaknya, lebih dari 1.100 warga telah menggunakan layanan ini untuk memastikan keabsahan proses migrasi kerja mereka.
“Jangan biarkan satu orang pun menjadi korban karena kelambanan kita membaca ancaman. Ini bukan sekadar soal hukum, ini soal kemanusiaan,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan