Lumajang, – Di tengah derasnya arus modernisasi dan persaingan pasar camilan yang semakin ketat, sebuah usaha kecil di lereng Gunung Semeru berhasil mempertahankan dan mengembangkan warisan kuliner tradisional yang unik, keripik talas khas Senduro.
Namun, kisah di balik keberhasilan ini bukan sekadar soal rasa dan bahan baku, melainkan juga tentang inovasi, tantangan distribusi, dan semangat pelestarian budaya lokal yang terus berkembang.
Berbeda dengan banyak produk keripik lain yang mengandalkan bahan impor atau produksi massal, keripik talas Senduro lahir dari tangan petani dan pengusaha lokal yang memanfaatkan talas sebagai komoditas utama.
Talas yang digunakan bukan sembarang talas, melainkan varietas lokal yang tumbuh subur di tanah vulkanik di sekitar Gunung Semeru, memberikan cita rasa dan tekstur khas yang sulit ditiru.
Abdul Rohman, pengusaha yang memulai usaha ini sejak 2018, di Desa Purworejo, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajangmeng, mengungkapkan pengambilan bahan baku dilakukan secara langsung dari pasar tradisional di berbagai desa di Kecamatan Senduro, seperti Pasar Cempoko, Pasru, dan Berdayu.
“Kami ingin menjaga kesinambungan ekonomi lokal, jadi bahan baku kami beli dari petani dan pedagang di sekitar sini,” ujar dia, Kamis (29/5/25).
Meski hanya menawarkan satu varian rasa, yaitu balado pedas manis, keripik talas Senduro berhasil menarik perhatian berkat keseimbangan rasa yang pas dan tekstur renyah yang khas.
Berbeda dari keripik balado pada umumnya yang cenderung sangat pedas, produk ini dirancang agar ramah untuk semua usia, termasuk anak-anak.
Namun, inovasi tidak berhenti di situ. Abdul Rohman dan timnya terus berupaya memperbaiki kemasan agar lebih menarik dan tahan lama, serta menjajaki berbagai saluran distribusi baru, termasuk kerja sama dengan minimarket besar seperti Indomaret.
“Kami sadar bahwa untuk bertahan di pasar modern, kami harus mengikuti perkembangan tren dan kebutuhan konsumen,” katanya.
Meski mengalami pertumbuhan, usaha keripik talas Senduro tidak luput dari tantangan. Fluktuasi harga bahan baku, persaingan dengan produk impor, serta keterbatasan akses pasar menjadi hambatan yang harus dihadapi.
Selain itu, menjaga kualitas produk agar tetap otentik dan sesuai dengan cita rasa tradisional juga menjadi fokus utama.
“Kami tidak ingin mengorbankan keaslian rasa demi produksi massal. Ini adalah warisan budaya yang harus kami jaga,” tegas Abdul Rohman.
Keberhasilan usaha keripik talas ini memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal. Dengan membeli bahan baku dari petani setempat dan mempekerjakan tenaga kerja dari desa sekitar, usaha ini turut memberdayakan masyarakat dan mengurangi angka pengangguran.
“Setiap bungkus keripik yang terjual berarti ada petani dan pekerja yang mendapat penghasilan,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan