Lumajang, – Kebingungan warga meningkat menyusul tumpang tindih pengaturan tata ruang di Persil 69, Desa Sumberjo, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang.
Dua peraturan daerah (Perda) yang berlaku dalam kurun waktu berbeda menetapkan fungsi lahan secara bertolak belakang.
Perda Nomor 2 Tahun 2013 menetapkan kawasan tersebut sebagai lahan pertanian non-irigasi. Namun, dalam Perda terbaru yakni Nomor 4 Tahun 2023, lokasi yang sama justru diubah menjadi zona permukiman.
Baca juga: Kades Lumajang Janji Evaluasi Karnaval Desa Usai Warganya Meninggal Dunia
“RT/RW tahun 2013 menyebutkan itu wilayah pertanian non-irigasi. Tapi sejak Perda baru tahun 2023, kawasan itu berubah jadi kawasan permukiman,” kata Tatang Hatiyadi, Kasi Pengendalian Penanganan Sengketa Konflik Perkara BPN Lumajang, saat dikonfirmasi, Selasa (5/8/25).
Perubahan kebijakan ini tidak hanya memunculkan kebingungan administratif, tapi juga menyulut potensi konflik antarwarga serta pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas lahan tersebut.
Baca juga: Viral di Media Sosial, Sekda Lumajang Serukan Jangan Ganti Bendera Merah Putih dengan Bendera Fiksi
Beberapa warga mengaku tidak mengetahui perubahan ini hingga muncul rencana pembangunan di lahan yang sebelumnya mereka anggap sebagai kawasan pertanian.
Masalah makin kompleks karena dalam dokumen Perda 2023, kawasan permukiman itu mencakup badan sungai, yang secara teknis tidak lazim.
“Pola ruangnya itu permukiman, tapi dimasuki badan sungai. Ini kan jadi aneh. Apa ada model kawasan perumahan yang di dalamnya masuk sungai?” ujar Tatang.
Menurutnya, penetapan ini bukan hanya janggal secara logika teknis tata ruang. “Tapi juga berisiko terhadap ekosistem dan keselamatan warga jika pembangunan permukiman dipaksakan di area dengan aliran air aktif,” tambahnya.
Berdasarkan data dari BPN Lumajang, lahan seluas 2.990 meter persegi di Persil 69 tersebut sudah dikuasai oleh 16 subjek sejak tahun 1970-an dengan status hak milik adat atau bekas hak tanah.
Dalam kurun waktu antara 2006 hingga 2018, terjadi sejumlah perubahan fungsi lahan, namun dinilai tidak jelas dasarnya. Indikasi ini dikuatkan oleh catatan historis BPN yang menunjukkan bahwa peta-peta lama, termasuk peta fotogrametri tahun 1985, bahkan tidak mencatat adanya badan sungai di lokasi tersebut.
“Artinya, dari sisi historis dan peta lama, kawasan ini seharusnya bukan sungai, tapi kini disebut permukiman dan ada aliran airnya. Ini menunjukkan persoalan tata ruang yang tidak sinkron dan rawan digugat,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan