Lumajang, – Pengelolaan wisata Tumpak Sewu di Lumajang menghadapi berbagai persoalan serius yang berpotensi menghambat kemajuan destinasi unggulan ini.
Dari konflik budaya hingga lemahnya manajemen dan kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan, fakta-fakta berikut mengungkap tantangan besar yang harus segera ditangani.
Anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lumajang, Junaedi, mengatakan, s<span;>alah satu masalah utama adalah penolakan masyarakat di tiga desa Sumberurip, Orompo, dan Sepiturang-terhadap keberadaan homestay.
Kata dia, penolakan ini muncul karena kekhawatiran terhadap wisatawan internasional yang berkunjung dengan gaya berpakaian yang tidak sesuai norma masyarakat yang religius.
“Hal ini mencerminkan kurangnya pemahaman dan sosialisasi dari pemerintah dan dinas terkait mengenai pentingnya pariwisata dan bagaimana menyikapi perbedaan budaya secara bijak,” kata Junaidi saat dikutip dari siaran radio di Lumajang, Selasa (13/5/25).
Penolakan ini menjadi penghambat serius bagi pengembangan homestay yang sebenarnya berperan penting dalam meningkatkan ekonomi lokal dan memberikan pengalaman autentik bagi wisatawan.
“Pemerintah dan dinas pariwisata perlu lebih intensif memberikan edukasi dan pendekatan yang sensitif budaya agar potensi wisata tidak terhambat oleh ketegangan sosial,” katanya.
Disamping itu, lemahnya komunikasi dan koordinasi antara pengelola wisata dan badan pengelola tiket (boom test). Miskomunikasi ini menyebabkan kebingungan dalam penanganan tiket dan manajemen pengunjung, yang berujung pada ketidaknyamanan wisatawan dan berpotensi menurunkan minat kunjungan.
“Selain itu, peran guide atau pemandu wisata yang sangat vital dalam pemasaran dan pelayanan wisatawan juga kurang diperhatikan,” unarnya.
Kurangnya pelatihan dan pendampingan terhadap guide membuat mereka berpotensi berpindah ke destinasi lain seperti Malang, yang menawarkan kemudahan dan insentif lebih baik.
Krisis manajemen juga terlihat dari perilaku agen wisata yang dapat membatalkan paket wisata akibat masalah internal, seperti polemik tiket, yang pernah terjadi di Tumpak Sewu. Pembatalan ini mengakibatkan promosi wisata bergeser ke destinasi lain seperti Ijen dan Bali, yang jelas merugikan Lumajang.
Pernah kemarin ketika di Tumpak Sewu ada masalah, masalah sampai booming, sampainasional karena ada masalah tiket itu.
Itu ada beberapa agen yang meng-cancel. Sehingga dipindah paket yang sebenarnya promo,Tumpak Sewu, dan mana? Ijen. Itu dipindah ke promo, ijen, dan Bali,” jelas Junaidi.
Di sisi lain, pelaku wisata lokal seperti pengelola homestay, kuliner, dan penyedia jasa wisata lainnya belum terkoordinasi dengan baik. “Seperti perbedaan harga dan kualitas pelayanan yang tidak konsisten berpotensi merusak citra wisata Tumpak Sewu dan menurunkan kepuasan pengunjung,” tuturnya.
Kata dia, koordinasi dengan birokrasi yang kaku dan saklek menjadi salah satu hambatan utama dalam mencari solusi atas berbagai masalah tersebut.
Diperlukan kebijakan yang lebih fleksibel dan inovatif untuk menciptakan sinergi antar pemangku kepentingan serta mengatasi permasalahan secara efektif dan berkelanjutan.
“Ini juga akan membahayakan. Terus yang lain adalah pelaku pelaku wisata. Pelaku wisata dalam hal ini, Tumpak Sewu, seperti homestay, kuliner, dan mungkin pelaku wisata yang lain seperti Pak Guyupan, Jip, Lafatur, itu harus kita kondisikan semua. Sehingga mereka tidak jalan-jalan sendiri-sendiri,” timpalnya.
“Ada yang kadang-kadang harganya mahal, ada yang kadang-kadang pelayanan kurang bagus. Ini yang nanti akan mengganggu wisataTumpak Sewu,” imbuhnya.
Pengelolaan wisata Tumpak Sewu saat ini menghadapi tantangan besar yang tidak bisa diabaikan. Konflik budaya yang belum terselesaikan, manajemen tiket dan pelayanan yang buruk, serta kurangnya koordinasi antar pelaku wisata.
“Dan tentunya memang dalam hak ini susahnya di sinkronisasi dan koordinasi itu. Pada urusan yang namanya teknokrat. Karena teknokrat itu saklek kan? Sehingga kita perlu ada kebijakan. Sehingga kebijakan ini akan melahirkan suatu inovasi-inovasi atau penyelesaian masalah yang nanti akan memihak. Dan bisa menyelesaikan secara kompetensi. Jadi artinya UBD, ya ini harus sinkronisasi. Tidak hanya depan wisata, mungkin UBD yang lain,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan