Lensa Warta – Ribuan umat Hindu Tengger dari sekitar Gunung Semeru dan Bromo berkumpul di Pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar, Lumajang pada Minggu (23/3/2025) untuk menjalani prosesi Melasti. Ini adalah bagian dari perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1947. Makna Melasti sangat dalam. Ini adalah cara untuk menyucikan diri dan lingkungan.
Sejak pagi, orang-orang datang mengenakan pakaian adat Bali dan Tengger. Musik gamelan Bale Ganjur mengiringi pemangku adat yang membawa sesaji dan jempana – tempat persembahan yang dihias dengan kain suci – menuju pantai.
Menurut Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Lumajang, Teguh Widodo, tujuan Melasti adalah menyucikan dua aspek penting: Buana Agung (alam semesta) dan Buana Alit (diri manusia). Sekitar 2.500 umat Hindu ikut ritual ini. Mereka mempersiapkan diri untuk Catur Brata Penyepian.
Selama prosesi, ada tarian sakral seperti Rejang Renteng dan Rejang Dewa yang ditampilkan oleh para perempuan. Tarian ini melambangkan kesucian dan merupakan persembahan kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Banyak sesaji seperti bunga, buah, dan bahkan hewan kecil seperti ayam, dilepas ke laut. Ini sebagai simbol pembersihan jiwa dari kekotoran. Wayan Sudarma, seorang umat dari Kecamatan Senduro, mengatakan, “Kami percaya laut dapat menyucikan. Melalui Melasti, kami mohon berkah dan keseimbangan hidup.”
Di tengah doa dan mantra suci, asap dupa mengisi udara. Suasana jadi khusyuk. Para umat menundukkan kepala, merapatkan tangan, dan berdoa dengan penuh penghayatan.
Pantai Watu Pecak menjadi tempat penting dalam ritual ini. Ombak seolah menyambut doa-doa yang dipanjatkan. Bagi Hindu Tengger, Melasti bukan hanya tradisi tahunan. Ini adalah simbol rasa syukur dan keharmonisan dengan alam.
Ada juga nilai sosial dalam ritual ini. Melasti mempererat hubungan antarumat. Ni Ketut Sri dari Desa Argosari mengatakan, “Kami datang bersama keluarga. Ini memperkuat persaudaraan.”
Menariknya, umat non-Hindu juga ikut menyaksikan dengan penuh rasa hormat. Joko, seorang warga Pasirian, berkata, “Saya hadir setiap tahun. Ritual ini mengajarkan pentingnya hidup selaras dengan alam.”
Semakin lama, Melasti di Watu Pecak semakin dikenal, menarik perhatian wisatawan dan fotografer. Keindahan visual, makna spiritual, dan nilai budaya membuat upacara ini menarik.
Ritual ditutup dengan siraman air suci dari pemangku adat. Air ini diyakini membawa berkah dan membersihkan energi negatif. Teguh Widodo menekankan pentingnya Tri Hita Karana. Filosofi ini mengajak kita hidup harmonis dengan Tuhan, sesama, dan alam.
“Harapan kami, melalui upacara ini, umat Hindu dapat menjaga keseimbangan hidup dan menyebarkan kedamaian,” tutupnya.
Melasti bukan sekadar ritual. Ini adalah bagian dari filosofi kehidupan masyarakat Tengger. Setelah upacara, peserta pulang dengan semangat baru untuk menyambut Hari Nyepi, hari untuk refleksi dan pembaharuan spiritual.
Tinggalkan Balasan