Lumajang, – Kabut tipis masih menggantung di sekitar perbukitan Glagah Arum ketika suara rana kamera mulai terdengar satu per satu.
Ratusan remaja dari berbagai penjuru Kabuoaten di Indonesia berkumpul membawa alat yang mereka percaya bisa mengubah masa depan, yakni kamera.
Bukan sekadar alat dokumentasi, kamera kini menjadi jendela baru untuk menarasikan kampung halaman.
Kegiatan lomba fotografi nasional yang diselenggarakan oleh Forum Asosiasi Fotografer Indonesia (FAFI) di Bumi Perkemahan Glagah Arum menjadi saksi semangat generasi muda Lumajang dalam merekam kisah, cahaya, dan kehidupan dari sudut pandang mereka sendiri.
Namun lebih dari sekadar kompetisi, acara ini telah menjelma menjadi ruang ekspresi visual yang membebaskan, membentuk narator-narator muda yang mulai sadar bahwa tempat tinggal mereka menyimpan banyak kisah yang layak dibagikan ke dunia.
Salah satu peserta, Raka (18), pemuda dari Desa Pasrujambe, mengaku pengalaman ini telah mengubah cara pandangnya terhadap desa tempat ia tumbuh.
Baca juga: Bumi Perkemahan Glagah Arum: Glamping Mewah, Film Klasik, dan Kuliner Otentik di Lereng Semeru
“Saya baru sadar tempat saya sekeren ini setelah saya motret,” ungkapnya sambil memperlihatkan hasil fotonya, sebuah potret siluet petani menanam bawang di bawah sinar matahari pagi, Minggu (20/7/25).
“Selama ini saya pikir enggak ada yang bisa diceritain dari desa saya. Tapi setelah saya lihat hasilnya, ternyata desa saya punya pesona sendiri. Ada cerita di balik setiap gerak warga,” lanjutnya.
Cerita Raka bukan satu-satunya. Banyak peserta muda dari desa seperti Tempursari, Candipuro, dan Gucialit menghadirkan potret keseharian yang jarang terpublikasi, anak-anak bermain di aliran sungai kecil, ritual bersih desa di tengah hutan, wajah-wajah petani yang penuh gurat kerja keras namun menyimpan keteduhan.
Baca juga: 16.594 Sertifikat Tanah di Surabaya II Beralih ke Digital, BPN Percepat Implementasi Sertel
Dari ratusan karya yang masuk, beberapa menangkap sisi Lumajang yang bahkan tidak dikenal oleh sebagian besar warganya sendiri. Sebuah karya berjudul ‘Jalur Tenang di Balik Semeru’ memperlihatkan suasana sepi namun indah di jalur pertanian Desa Oro-Oro Ombo, dibalut kabut tebal yang hanya muncul di pagi tertentu.
Ada pula foto berjudul ‘Kidung di Tengah Kabut’ yang merekam seorang kakek dari Suku Tengger sedang menabuh gamelan di Pura Mandhara Giri Semeru Agung, dengan latar belakang kabut lembut yang turun seperti tirai spiritual. Foto ini bukan hanya menangkap visual, tetapi juga rasa.
Karya-karya tersebut menjadi bukti bahwa Lumajang tidak kekurangan cerita dan estetika hanya saja, belum banyak yang mengisahkannya dari dalam.
Untuk itu, Wakil Bupati Lumajang, Yudha Adji Kusuma, dalam sambutannya menekankan kegiatan ini bukan hanya ajang kompetisi, tetapi momen penting bagi generasi muda untuk “melihat ulang” daerah mereka sendiri secara harfiah dan metaforis.
“Panjangan semua adalah narator visual kami. Kamera panjangan bukan sekadar alat komunikasi, tetapi jendela yang bisa menghidupi narasi, mengangkat potensi daerah, dan menginspirasi perubahan,” tegasnya.
Ia menambahkan, bahwa dalam dunia yang makin terdigitalisasi, visual adalah bahasa global. Satu unggahan yang kuat dan jujur bisa memperkenalkan Lumajang lebih luas daripada brosur atau baliho.
“Kreativitas, jika diberi ruang dan dukungan, akan tumbuh menjadi industri. Di balik lensa anak muda, tersembunyi potensi ekonomi digital dari wisata komunitas, fotografi dokumenter, hingga monetisasi konten,” jelasnya.
Tinggalkan Balasan