Lumajang, – Minggu pagi di Dusun Jombang RW 06, Desa Yosowilangun Lor, menghadirkan suasana yang berbeda dari biasanya. Gang kecil bernama Rowojali yang sehari-hari tampak sepi, mendadak ramai oleh aroma jajanan, suara tawa warga, dan obrolan hangat yang mengalir tanpa sekat.
Baca juga: Terisolasi 5 Hari, Siswa SDN Jugosari 3 Lumajang Akhirnya Bisa Sekolah Meski Harus Naik Ekskavator
Di tengah kemajuan zaman dan derasnya arus modernisasi, pasar ini hadir sebagai upaya warga untuk tetap menjaga nyala tradisi kuliner desa. Digelar rutin dua kali dalam sebulan, pasar ini menjadi panggung bagi jajanan-jajanan khas yang mulai jarang ditemukan di pasar umum.
Dari lapak ke lapak, berjajar makanan tradisional yang dibuat langsung oleh tangan-tangan ibu rumah tangga setempat.
Ada lupis legit yang disajikan dengan siraman gula merah dan taburan kelapa parut, cenil warna-warni yang kenyal dan manis, hingga jongkong lembut yang dibungkus daun pisang dan dikukus dengan santan.
Tak ketinggalan lemper isi ayam, apem, gethuk, hingga botok berbumbu rempah menggoda indera penciuman.
Baca juga: Molen, Lamadjang Tigang Juru, dan Bola Voli: Jejak Sejarah yang Hidup di Turnamen Lumajang
“Kami membuat semuanya sendiri, dari bahan-bahan alami yang ada di kebun atau sawah sekitar. Ini bukan cuma soal jualan, tapi bagaimana kita bisa menjaga warisan dari nenek moyang,” ujar Siti, salah satu penjual yang sudah berjualan sejak pasar ini pertama kali digelar, Minggu (3/8/25).
Bagi para penjual, membuat makanan tradisional bukan hanya soal ekonomi rumah tangga, tapi juga bagian dari upaya melestarikan kearifan lokal. Prosesnya pun melibatkan nilai kebersamaan, karena tak jarang mereka saling bantu dalam proses menyiapkan makanan sebelum hari pasar.
Makanan yang dijual di Pasar Minggu Rowojali bukanlah produk pabrikan massal, tapi cita rasa khas yang lahir dari resep turun-temurun. Proses pembuatannya masih memakai cara-cara tradisional seperti dikukus dalam kukusan bambu, dibungkus daun pisang, atau digoreng dengan tungku arang.
“Kami ingin anak-anak muda tahu dan mencicipi makanan-makanan ini. Jangan sampai nanti generasi kita tidak tahu apa itu lupis atau jongkong,” kata Bu Marni, warga yang aktif mendukung kegiatan pasar.
Bagi para pengunjung, berbelanja di pasar ini bukan sekadar transaksi ekonomi, tetapi juga pengalaman budaya yang hangat dan mengesankan. Setiap makanan yang dibeli membawa cerita, aroma nostalgia, dan rasa kebersamaan yang semakin langka di tengah masyarakat modern.
Pasar Minggu Rowojali pun menjadi simbol bahwa pelestarian budaya bisa dimulai dari hal-hal kecil dari dapur warga, dari rasa cinta terhadap masakan nenek, dan dari semangat untuk berbagi kepada sesama.
“Pasar ini tidak hanya menggerakkan ekonomi kecil, tapi juga menjaga identitas kita sebagai warga desa yang punya warisan kaya,” ujar Slamet Riyadi, Ketua RW 06 sekaligus penggagas kegiatan ini.
Tinggalkan Balasan