Lumajang, – Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lumajang menegaskan bahwa penerbitan tiga sertifikat tanah yang kini dipermasalahkan oleh Kejaksaan Negeri Lumajang sudah melalui prosedur yang sah.
BPN menyebut seluruh proses telah mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan teknis terkait, termasuk PP No. 24 Tahun 1997.
Kepala Seksi Pengendalian Penanganan Sengketa Konflik Perkara BPN Lumajang, Tatang Hatiyadi, menyatakan bahwa ketiga sertifikat tersebut merupakan hasil pendaftaran tanah pertama kali oleh perorangan, bukan oleh pengembang. Prosesnya dimulai dari legalitas data yuridis hingga kondisi fisik lahan.
“Dasar penerbitannya adalah akta jual beli dan Letter C, yang menunjukkan hak milik adat. Kami tidak akan menerbitkan sertifikat jika dokumen tersebut tidak lengkap atau tidak sah,” kata Tatang dalam keterangan pers, Selasa(5/8/25).
Baca juga: BPN Lumajang Ungkap Hanya 3 Sertifikat yang Diterbitkan, Bukan 9.600 Meter Persegi
Menurut Tatang, luas keseluruhan lahan yang disertifikasi hanya sekitar 300-an meter persegi, jauh dari klaim yang menyebut 9.600 meter persegi dalam rilis kejaksaan. Ia menyebut adanya kekeliruan informasi dalam pemberitaan yang kemudian menjadi polemik.
“Jumlahnya hanya tiga bidang, bukan ribuan meter. Dan kami bisa tunjukkan semua dokumen serta peta lokasi sebagai buktinya,” imbuhnya.
Baca juga: Viral di Media Sosial, Sekda Lumajang Serukan Jangan Ganti Bendera Merah Putih dengan Bendera Fiksi
Terkait tudingan penggeledahan dan pengambilan paksa dokumen, BPN juga membantah keras. Tatang menuturkan, saat kejaksaan mendatangi kantor BPN, tidak ada pembacaan surat tugas atau surat izin penggeledahan.
Karena itu, pihak BPN mengira kedatangan jaksa hanyalah dalam rangka permintaan keterangan biasa, sebagaimana yang rutin dilakukan dalam proses hukum.
“Kami kooperatif. Tapi kami kaget saat kemudian disebut telah dilakukan penggeledahan. Tidak ada penunjukan surat resmi terkait itu,” tegas Tatang.
Dalam aspek tata ruang, BPN menyampaikan bahwa kawasan tersebut masuk dalam pola ruang permukiman berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lumajang.
Jika terjadi pertentangan antara RTRW dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Tatang menekankan bahwa Perda RTRW harus diacu karena memiliki tingkat hierarki yang lebih tinggi.
“Kami mengikuti RTRW, bukan RDTR, karena secara hukum perda berada di atas perbup atau RDTR. Lagipula, kondisi fisik lahannya sudah darat sejak lama, bukan sungai,” jelasnya.
BPN juga menunjukkan bahwa berdasarkan data spasial dan citra satelit Google Earth dari tahun 2006 hingga 2021, lahan yang dimaksud berada di luar aliran sungai.
Bahkan pengukuran jarak terhadap sepadan sungai menunjukkan lebih dari 60 meter, yang secara teknis tidak melanggar ketentuan tata ruang maupun pengendalian kawasan sungai.
“Kami pastikan bahwa penerbitan ini sesuai prosedur dan tidak ada pelanggaran. Justru kami bertugas memberikan kepastian hukum kepada masyarakat,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan