Surabaya, – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menargetkan retribusi dari pengelolaan aset daerah sebesar Rp121 miliar pada tahun 2025. Target ini menjadi bagian dari proyeksi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara total ditetapkan mencapai Rp486 miliar lebih.
Guna mencapai target tersebut, Pemkot mengandalkan strategi utama melalui digitalisasi aset. Langkah ini dianggap krusial dalam mempercepat proses penatausahaan, pengawasan, serta promosi aset yang belum termanfaatkan secara maksimal.
“Kami melihat bahwa proses digitalisasi ini adalah satu poin yang memang harus dioptimalkan. Intinya adalah pemanfaatan aset secara ekonomis,” ujar Kepala BPKAD Kota Surabaya, Wiwiek Widayati, Rabu (3/9/25).
Baca juga: Cegah Siswa Ikut Aksi Ricuh, Pemkot Malang Terapkan Sistem Belajar dari Rumah
Wiwiek menjelaskan, pengelolaan aset selama ini kerap mengalami kendala karena proses manual yang lambat dan tidak terintegrasi.
Oleh karena itu, Pemkot tengah mengembangkan aplikasi Sistem Informasi dan Pengelolaan Aset Daerah (SIKDASDA) yang memungkinkan pemetaan aset berbasis lokasi dan status hukum secara real-time.
“Kayak orang mau lihat asetnya di mana, lokasinya di mana, dengan peta dan sebagainya semua itu nanti bisa langsung dari sistem,” tambah Wiwiek.
Baca juga: 49 Anggota DPRD Jember Diperiksa Kejaksaan, Dugaan Korupsi Mamin Sosraperda 2023/2024
Selain itu, strategi pengelolaan aset juga mencakup penawaran aset-aset idle (menganggur) kepada investor atau pelaku usaha, baik melalui skema sewa, Kerja Sama Pemanfaatan (KSP), Bangun Guna Serah (BGS)/Bangun Serah Guna (BSG), maupun Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI).
Hingga saat ini, dari 4.767 bidang aset tanah selain jalan, sekitar 85 persen telah dimanfaatkan. Namun masih ada 1.039 aset atau sekitar 15 persen yang belum termanfaatkan terdiri dari tanah tambak, sawah, tanah kosong, dan lainnya dan menjadi fokus utama intervensi Pemkot.
“Ini kita coba tawarkan. Aset yang kosong, yang idle, harus mulai menghasilkan,” jelasnya.
Meski demikian, Wiwiek mengakui bahwa tantangan tidak sedikit. Salah satunya adalah soal nilai appraisal yang kerap dianggap terlalu mahal oleh calon penyewa. Namun ia menegaskan, penilaian aset dilakukan secara profesional dan independen oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) sesuai dengan nilai pasar.
“Appraisal dianggap mahal, padahal itu dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. Pemerintah tidak menetapkan sendiri nilainya,” tegasnya.
Selain optimalisasi aset dari sisi fiskal, Wiwiek juga menekankan pentingnya pendekatan non-komersial dalam beberapa pemanfaatan, seperti untuk program padat karya yang melibatkan warga miskin atau pelatihan bagi UMKM melalui program mentoring.
“Jadi kita tidak hanya bicara uang masuk, tapi juga dampak ekonomi dan sosialnya ke warga,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan