Lensawarta.com, – Dari medan perang Mongol hingga pedesaan Eropa, kuda telah menjadi mitra manusia selama ribuan tahun. Tapi zebra kerabat dekat kuda yang bahkan lebih tahan penyakit dan gesit selalu gagal dijinakkan.
Sejumlah eksperimen dari kolonial Jerman di Afrika hingga Rothschild di Inggris hanya menghasilkan keberhasilan simbolik, bukan keberlanjutan. Ini bukan sekadar soal upaya, tapi soal temperamen, fisiologi, dan struktur sosial yang menolak tunduk. Zebra, sebagaimana alam menciptakannya, adalah makhluk yang menolak dijadikan alat.
Dalam perjalanan peradaban manusia, kuda memegang peran sentral. Ia mengangkut barang, menarik bajak, mengantar raja, dan mengiringi pasukan ke medan laga. Dari Genghis Khan yang menaklukkan daratan Asia dengan pasukan berkuda, hingga kafilah dagang di Jalur Sutra, kuda bukan sekadar hewan ia adalah alat transformasi sosial dan politik.
Namun di sisi lain bumi, di hamparan sabana dan pegunungan Afrika, hidup spesies kerabat kuda yang tak kalah gesi zebra. Memiliki stamina tinggi, mampu berlari kencang, dan bahkan kebal terhadap lalat tsetse yang mematikan bagi kuda zebra tampak seperti calon ideal hewan domestik. Tetapi hingga kini, zebra tetap menjadi simbol alam liar. Tak ada pasukan zebra, tak ada bajak sawah ditarik garis-garis hitam putih.
Baca juga: Dari Limbah Jadi Berkah, Cerita Ibu-Ibu Lumajang Mengolah Pelepah Pisang Jadi Kertas Bernilai Jual
Sejarah mencatat berbagai upaya untuk menjinakkan zebra. Salah satu yang paling eksentrik datang dari Lord Walter Rothschild, bangsawan dan naturalis Inggris yang pada akhir abad ke-19 melatih enam zebra untuk menarik keretanya melintasi jalanan London. Pemandangan itu sontak jadi sensasi zebra yang biasanya ada di alam liar, kini menjadi “kuda kereta bangsawan.”
Tapi semua itu adalah atraksi satu waktu. Zebra-zebra Rothschild hanya patuh karena dilatih secara intensif dan individual. Mereka tak melahirkan keturunan jinak, tak dapat diwariskan secara genetis sifat tunduknya. Jinakan sekali, liar selamanya.
Sementara itu, ribuan kilometer jauhnya di Afrika Timur, pemerintah kolonial Jerman juga mencoba menjadikan zebra sebagai alternatif kuda. Harapannya sederhana zebra tahan lalat tsetse dan bisa digunakan di pedalaman. Namun kenyataan membentur tembok keras. Zebra liar menolak diperintah, kerap menggigit dan menendang pelatih, dan banyak yang mati karena stres berat.
Baca Juga: Proyek Tol Probowangi Target Selesai September 2025, Dongkrak Konektivitas Jawa Timur
Proyek gagal. Satu kesimpulan disepakati, zebra bukan kuda.
Baca juga: Infrastruktur Gagal, Mobil Bupati Pun Tak Mampu Menanjak
Yang membedakan zebra dan kuda bukanlah penampilan atau kekuatan fisik, tetapi sifat bawaan hasil evolusi ribuan tahun di lingkungan berbeda.
Penelitian etologi (ilmu perilaku hewan) mengungkap sejumlah fakta kunci:
– Zebra memiliki temperamen reaktif. Mereka sangat mudah panik, selalu dalam mode “lari dulu, pikir nanti” mekanisme pertahanan alami dari predator di savana Afrika.
– Jarak kabur (flight distance) zebra jauh lebih besar daripada kuda. Artinya, zebra lebih susah didekati manusia, apalagi dibiasakan untuk dekat setiap hari.
– Struktur sosial zebra tidak hierarkis. Kuda liar hidup dalam kawanan dengan satu pejantan dominan dan betina-betina bawahan. Ini memudahkan manusia “menggantikan” posisi alfa. Zebra (terutama jenis Grévy) cenderung hidup dalam kelompok sementara yang tidak stabil.
– Zebra rentan terhadap capture myopathy kondisi fisiologis mematikan akibat stres ekstrem saat ditangkap. Artinya, bahkan ketika dipaksa jinak, tubuh zebra bisa menyerah sebelum hatinya.
Dengan kombinasi karakteristik ini, zebra nyaris mustahil didomestikasi secara massal. Yang bisa jinak hanyalah individu, bukan spesies.
Sejarah domestikasi bukan soal siapa yang kuat, cepat, atau cerdas. Tetapi siapa yang bisa diajak kompromi. Anjing, sapi, domba, dan kuda semuanya punya paket lengkap jinak, mampu hidup di kandang, mudah berkembang biak dalam penangkaran, dan mau hidup di bawah kepemimpinan manusia.
Zebra, dalam hal ini, adalah kebalikannya. Ia tidak patuh, tidak nyaman di kandang, dan ketika stres, bisa mati. Zebra tidak dirancang alam untuk menjadi mitra manusia. Ia adalah produk ekosistem liar yang membutuhkan kebebasan sebagai bentuk kelangsungan hidup.
Kegagalan zebra untuk dijinakkan bukanlah kekalahan ilmu atau kegagalan teknologi. Ini adalah pelajaran batasan, bahwa tidak semua makhluk bisa dimasukkan ke dalam kerangka manusia. Zebra, dengan segala pesona garisnya, tetaplah milik alam. Mereka tidak diciptakan untuk menarik kereta, mengangkut senjata, atau jadi peliharaan.
Tinggalkan Balasan