Lumajang – Dari sebuah gerobak ketan di Tempeh Tengah, lahir sebuah kisah sederhana namun penuh makna. Seorang penjual ketan membuktikan bahwa kebaikan tidak diukur dari banyaknya harta, melainkan dari keikhlasan berbagi.
Setiap hari, ia menyisihkan Rp2.000 dari penghasilan yang pas-pasan. Dalam beberapa minggu, terkumpul Rp122.000 yang ia serahkan ke Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Lumajang. Uniknya, bulan ini saja ia sudah dua kali datang menyetor infak. Konsistensinya membuat banyak orang tertegun, bagaimana seorang pedagang kecil bisa begitu disiplin dalam berbagi.
Ketulusan yang Menyentuh Hati
Momen semakin haru ketika Bupati Lumajang, Indah Amperawati (Bunda Indah), hadir langsung di kantor Baznas saat penyerahan infak. Dengan mata berkaca, ia menyebut ketulusan penjual ketan jauh lebih berharga daripada jumlah nominalnya.
“Ini bukan soal besar kecilnya uang, tetapi tentang keikhlasan dan konsistensi dalam berbagi. Infak seperti ini tidak ternilai harganya,” ujar Bunda Indah, Jumat (5/9/2025).
Bagi Bunda Indah, kisah ini menjadi alarm moral bahwa semangat gotong royong dan kepedulian sosial masih hidup di tengah masyarakat. Ia pun mengajak warga Lumajang meneladani sikap mulia sang penjual ketan.
“Kalau seorang penjual ketan bisa menyisihkan rezekinya secara rutin, tak ada alasan bagi kita untuk tidak melakukan hal yang sama,” tegasnya.
Infak Kecil, Dampak Besar
Baznas Lumajang mencatat, infak kecil namun rutin justru menjadi energi besar. Wakil Ketua I Baznas Lumajang, Moh. Khoyum, menyebut sumbangan semacam ini menjadi fondasi kuat untuk membantu masyarakat.
“Infak kecil yang dilakukan dengan ikhlas dan berulang kali justru menjadi energi besar. Dari sinilah kami bisa menggerakkan program bantuan untuk yang membutuhkan,” jelasnya.
Dana hasil infak masyarakat digunakan untuk membantu keluarga miskin, mendukung pendidikan anak yatim, hingga menopang kebutuhan lansia yang tidak memiliki penghasilan. Dengan begitu, Rp2.000 sehari dari seorang pedagang ketan berubah menjadi keberkahan yang lebih besar.
UMKM Sebagai Pilar Sosial
Kisah penjual ketan ini membuktikan bahwa pelaku UMKM bukan hanya motor penggerak ekonomi, tetapi juga pilar solidaritas sosial. Meski hidup dari penghasilan harian, mereka mampu memberi contoh nyata tentang keikhlasan berbagi.
Data Baznas RI menyebut potensi zakat di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah, namun baru sebagian kecil yang tergali. Jika semangat penjual ketan Lumajang ditiru jutaan masyarakat, dampaknya bisa signifikan dalam menurunkan angka kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Gerakan Sosial dari Desa
Bagi Lumajang, fenomena ini bisa menjadi energi moral untuk membangun gerakan sosial berbasis desa. Jika setiap pedagang, petani, nelayan, hingga pegawai menyisihkan sedikit penghasilan secara rutin, kas sosial daerah akan semakin kuat menopang kebutuhan warga.
Pemerintah bersama Baznas pun bisa merancang program apresiasi bagi donatur kecil yang konsisten. Bukan untuk mengekspos, tetapi untuk menumbuhkan budaya berbagi yang berkelanjutan di tengah masyarakat.
Pelajaran dari Gerobak Ketan
Kisah ini menyiratkan bahwa pembangunan daerah tidak hanya bertumpu pada APBD, melainkan juga bisa digerakkan melalui partisipasi masyarakat yang ikhlas. Di tengah dunia digital yang sering menonjolkan kemewahan, cerita sederhana dari gerobak ketan ini menjadi oase yang menyegarkan.
Keberkahan hidup bukan berasal dari seberapa banyak kita menumpuk, tetapi dari seberapa tulus kita memberi. Dari uang receh yang dikumpulkan sabar setiap hari, lahir energi kemanusiaan yang menopang sesama. Lumajang kembali diingatkan bahwa kebesaran sejati bukan milik mereka yang banyak memiliki, melainkan milik mereka yang ikhlas berbagi.
Tinggalkan Balasan