Banyuwangi, – Kemacetan panjang yang melumpuhkan jalur Situbondo-Banyuwangi mencapai puncaknya pada Kamis (24/7/25).
Ribuan kendaraan, terutama truk angkutan barang, terjebak dalam antrean mengular sejauh puluhan kilometer.
Ketua DPD Organda Jawa Timur, Firmansyah Mustafa, menyebut situasi ini sebagai bencana logistik dan mendesak pemerintah untuk menunda penutupan Jalur Gumitir, yang dinilai memperparah kondisi.
“Dampaknya luar biasa. Kemacetan makin tidak bisa dibayangkan. Banyak kendaraan angkutan tertahan seharian penuh, bahkan lebih. Sayuran busuk, BBM terbuang, dan biaya operasional naik tajam,” tegas Firmansyah.
Penutupan Jalur Gumitir penghubung vital antara Jember dan Banyuwangi bertepatan dengan terbatasnya jumlah kapal penyeberangan di Pelabuhan Ketapang menuju Gilimanuk, Bali.
Hal ini menyebabkan seluruh arus kendaraan dari dan ke Bali bertumpu ke jalur Pantura Situbondo, yang kini kolaps total.
Banyak truk yang mengangkut bahan pokok dan barang mudah rusak terjebak hingga lebih dari 24 jam.
Salah satunya adalah Ginanjar, sopir truk tronton yang mengangkut sayuran ke Denpasar. Ia sudah terjebak sejak Rabu siang.
“Baru maju 5 kilometer selama satu hari. Muatan saya bisa busuk semua. Ini macet paling parah sejak saya mulai nyopir tahun 2018,” ujarnya dengan nada lelah.
Baca juga: Penutupan Jalur Gunung Gumitir Menuai Proses Pembahasan, Dishub Banyuwangi Minta Masyarakat Bersabar
Tak hanya muatan yang terancam rusak, biaya bahan bakar membengkak drastis. Mesin harus menyala terus karena sopir membutuhkan AC di dalam truk. Bahkan, beberapa kendaraan terpaksa mengisi BBM di pinggir jalan dengan harga lebih mahal karena tak bisa menjangkau SPBU.
“Kalau dihitung kerugian BBM dan waktu, ini sangat merugikan. Biaya operasional jadi gila-gilaan. Dan kita belum bisa hitung semua kerugian akibat penundaan pengiriman,” ujar Firmansyah.
Baca juga: Respons Publik Bikin MUI Lumajang Luruskan Pernyataan Soal Sound Horeg
Untuk angkutan orang seperti bus, Organda Jatim meminta adanya kebijakan khusus agar perusahaan bisa menyesuaikan tarif. Menurut Firmansyah, kemacetan ini berdampak langsung pada jadwal dan kenyamanan penumpang.
“Bus dari Surabaya ke Bali misalnya, bisa molor belasan jam. Waktu habis di jalan, belum lagi tambahan BBM dan konsumsi,” jelasnya.
Yosep, sopir lain yang ditemui di kawasan Wongsorejo, mengaku sudah 17 jam berada di antrean dan belum bisa bergerak.
“Mau istirahat susah, jalan terus buka-tutup. Teman-teman di Dermaga Bulusan pun belum bisa jalan. Saya pesimis bisa nyebrang hari ini,” katanya.
Tinggalkan Balasan