Lumajang, – Di kaki megah Gunung Semeru, tersembunyi sebuah desa yang tak hanya memeluk alam, tetapi juga menggenggam harapan masa depan.
Senduro, yang dulu dikenal hanya sebagai desa sunyi di Lumajang, kini menjelma menjadi model pembangunan desa berbasis budaya dan pemberdayaan masyarakat.
Ia bukan lagi penonton pembangunan, tetapi pemain utama yang memimpin narasi kemajuan dari pinggiran.
Perubahan Senduro tak terjadi dalam semalam. Bertahun-tahun, warga desa menata langkah mereka. Tidak dengan bangunan menjulang atau pusat perbelanjaan, tetapi dengan pendekatan yang membumi, merawat budaya, menjaga alam, dan membangun komunitas.
Baca juga: Explore Lumajang: East Java’s Hidden Gem
“Senduro tidak ingin berubah dengan meninggalkan jati dirinya. Kami ingin tumbuh tanpa kehilangan akar,” ujar Pak Suyanto, salah satu tokoh masyarakat yang aktif menggerakkan berbagai inisiatif lokal, Kamis (14/8/25).
Melalui pendekatan partisipatif, warga dilibatkan dalam setiap tahapan pembangunan, dari perencanaan wisata desa, pengelolaan homestay, pelatihan UMKM, hingga pelestarian budaya lokal seperti kesenian tradisional dan upacara adat.
Kekuatan Senduro ada pada komunitasnya. Karang Taruna, kelompok petani, ibu-ibu PKK, hingga pelaku seni bekerja bersama merumuskan mimpi-mimpi mereka. Pemerintah desa tak lagi menjadi aktor tunggal, melainkan fasilitator dan pendamping.
Program wisata berbasis pengalaman seperti memetik sayur di kebun, belajar membatik, atau menanam kopi lahir dari ide warga sendiri. Pengunjung pun datang bukan hanya untuk melihat, tetapi untuk merasakan.
Baca juga: Sebanyak 46 PMI Asal Lumajang Bermasalah
“Wisatawan sekarang ingin sesuatu yang nyata, bukan buatan. Di sini mereka bisa bangun pagi dengan kokok ayam, panen sayur, lalu menyeruput kopi sambil memandangi Semeru,” kata Lilis, pemilik homestay yang dibangun dari rumah keluarganya.
Perubahan ini membawa dampak nyata. Menurut data desa, pendapatan warga yang terlibat dalam ekowisata dan UMKM meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir. Tak hanya itu, anak-anak muda yang dulu merantau mulai kembali—melihat peluang baru di tanah kelahiran mereka.
“Dulu saya kerja di kota. Sekarang saya pulang karena di sini lebih menjanjikan, dan saya bisa dekat dengan keluarga,” kata Wahyu, pemuda 27 tahun yang kini mengelola kedai kopi berbasis produk lokal.
Tinggalkan Balasan