Lumajang, – Di balik sunyi lereng gunung, jauh dari keramaian kota, umat Hindu di Jawa Timur menyalakan api bakti yang tak kunjung padam. Dari ratusan pura yang tersebar di pelosok desa, bukit, hingga daerah pegunungan, tumbuh semangat kolektif yang kini menjelma menjadi tonggak baru kebangkitan spiritualitas Hindu di luar Bali.
Dalam momentum Pujo Wali yang digelar di Kurah Pandara Jusnir Rajung, semangat itu mencapai puncaknya. Ribuan umat dari 32 kabupaten/kota di Jawa Timur datang dengan penuh sukacita. Mereka menempuh perjalanan jauh melintasi kabupaten, pegunungan, bahkan lautan dari Madura demi satu hal, menyatukan bakti, memperkuat komunitas.
Tercatat ada 526 pura tersebar di seluruh Jawa Timur. Sebagian besar berdiri di tempat-tempat yang menantang: perbukitan di Blitar, lereng gunung di Bondowoso, dataran tinggi di Lumajang, hingga desa terpencil di Banyuwangi. Namun justru dari lokasi-lokasi sunyi itulah, energi spiritual muncul dengan kuat.
“Bakti itu tidak mengenal jarak. Walaupun pura kami ada di atas gunung, kami tetap datang, tetap sembahyang, tetap bersatu,” kata PHDI Jawa Timur, I Gusti Putu Raka, Selasa (22/7/25).
Baca juga: Ribuan Umat Hadiri Pementasan Calon Arang di Pura Mandhara Giri Semeru Agung
Kurah Pandara Jusnir Rajung menjadi semacam pusat spiritualitas yang mengikat umat Hindu di daerah-daerah tersebut. Tempat ini bukan hanya wadah sembahyang, tapi juga ruang konsolidasi budaya dan penguatan identitas umat.
Meski tak sepopuler Bali dalam peta wisata rohani, Jawa Timur menyimpan warisan besar dari era Majapahit dan sebelumya. Di sinilah akar-akar Hindu tetap tumbuh, ditopang oleh komunitas kecil tapi solid.
Baca juga: Lebih dari Sekadar Bubur, Teman Setia Jadi Tempat Cerita dan Kebersamaan Warga Surabaya
“Acara Pujo Wali bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah pernyataan, bahwa umat Hindu di Jawa Timur tetap hidup, aktif, dan terorganisir. Melalui acara ini, lahir gerakan lintas daerah, dari kelompok pemuda Hindu sampai komunitas ibu-ibu, yang bergerak memperkuat posisi spiritual dan sosial umat,” jelasnya.
Menariknya, kegiatan ini tidak hanya diikuti oleh umat keturunan Bali. Umat Hindu dari etnis Madura, Jawa, hingga Tengger turut hadir dan berpartisipasi aktif. Mereka membawa makanan khas daerah, persembahan lokal, dan seni tradisi masing-masing, menjadikan Pujo Wali sebagai panggung inklusif yang mencerminkan Bhineka Tunggal Ika dalam bentuk nyata.
“Yang datang ke sini bukan hanya orang Bali. Kita semua di Jawa Timur dari mana pun asalnya adalah satu umat, satu dharma,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan