Jember, – Proses reforma agraria di Kabupaten Jember tersendat akibat belum diterbitkannya SK Biru, dokumen turunan dari Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menjadi dasar hukum bagi Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan pengukuran dan sertifikasi lahan.
Anggota DPRD Jawa Timur, Eko Yunianto, menyebut keterlambatan penerbitan SK Biru menjadi penghambat utama dalam proses legalisasi lahan warga, terutama di wilayah Desa Pondokrejo, Kecamatan Tempurejo. Padahal, Surat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.485/MENLHK/SETJEN/PLA.2/5/2023 tentang Pelepasan Kawasan Hutan telah diterbitkan sejak tahun 2023.
Baca juga: Pemerintah Kucurkan Rp12 Triliun untuk Infrastruktur Pertanian, Jember Jadi Prioritas
“Negara tidak boleh membiarkan rakyat terus hidup dalam ketidakpastian. SK Menteri sudah keluar sejak 2023, tapi sampai hari ini belum ada dokumen turunan yang bisa dijadikan dasar hukum bagi BPN,” tegas Eko Yunianto di Surabaya, Sabtu (12/7/25).
Eko, yang juga anggota Komisi A DPRD Jatim, menekankan bahwa keberadaan SK Biru sangat krusial. Tanpa dokumen tersebut, BPN tidak dapat menjalankan tugasnya untuk melakukan pemetaan, verifikasi yuridis, hingga menerbitkan sertifikat tanah bagi warga yang telah puluhan tahun menggarap lahan eks kawasan hutan.
Baca juga: KAI Daop 9 Jember Beri Diskon 10% Tiket Eksekutif Sambut Banyuwangi Ethno Carnival 2025
Menurut Eko, Pemkab Jember memiliki peran strategis untuk segera mengajukan permintaan resmi kepada Kementerian LHK agar SK Biru segera diterbitkan. Ia juga mendorong adanya komunikasi intensif antara pemerintah daerah dan tokoh masyarakat sebagai bagian dari langkah informal untuk mempercepat proses.
“Kami mendorong agar Bupati Jember segera menginisiasi langkah-langkah formal maupun informal. Masyarakat tidak boleh terus menunggu dalam ketidakjelasan,” ujar politisi PDI Perjuangan tersebut.
Ia menambahkan, SK Biru bukan hanya persoalan administratif, melainkan bagian dari upaya struktural untuk mewujudkan reforma agraria yang berkeadilan. Ketiadaan dokumen itu membuat cita-cita distribusi kepemilikan tanah yang adil semakin sulit diwujudkan.
“Kalau pemerintah pusat sudah menyetujui, tinggal bagaimana pemerintah daerah melengkapi langkahnya,” kata Eko.
Tinggalkan Balasan