Dua Spektrum | Antara Hormat dan Kerendahan Hati di Dunia Pesantren - Lensa Warta

Menu

Mode Gelap
Dua Spektrum | Antara Hormat dan Kerendahan Hati di Dunia Pesantren Trail Adventure Day HARJALU: Menyelami Alam Lumajang dan Membawa Pulang Cerita Bupati Lumajang Jenguk Lansia Sakit, Tekankan Pentingnya Kepedulian Sosial dan Gotong Royong Warga Bunda Indah: SDM Unggul Jadi Pondasi Pertumbuhan Ekonomi Lumajang Bunda Indah Lepas Jemaah Umroh Sepenuh Cinta: Titip Doa untuk Lumajang, Titip Cinta untuk Tanah Suci

Opini · 16 Okt 2025 11:10 WIB ·

Dua Spektrum | Antara Hormat dan Kerendahan Hati di Dunia Pesantren


 Dua Spektrum | Antara Hormat dan Kerendahan Hati di Dunia Pesantren Perbesar

Hubungan antara santri dan kyai di dunia pesantren adalah salah satu warisan kultural paling luhur yang lahir dari pertemuan Islam dan tradisi Nusantara. Ia bukan hanya relasi antara guru dan murid, tetapi juga hubungan spiritual antara pencari ilmu dan pembimbing rohani. Dalam hubungan itu, penghormatan, kesetiaan dan keikhlasan menjadi fondasi utama. Namun, di tengah perubahan zaman dan derasnya arus informasi, hubungan yang penuh nilai itu sering disalahpahami.

Beberapa waktu lalu, Trans7 menayangkan sebuah liputan yang menggambarkan kehidupan pesantren dengan sudut pandang yang, sayangnya, tendensius dan simplistis. Potongan-potongan visual dan narasi yang dihadirkan seolah memperlihatkan pesantren sebagai ruang tertutup, hierarkis, bahkan feodal, di mana santri tunduk tanpa daya kepada kyai. Padahal, realitas pesantren jauh lebih kompleks dan manusiawi dari itu.

Liputan seperti ini, entah karena kurang riset atau karena keinginan membangun sensasi, menjadi cermin dari cara berpikir satu spektrum, yakni melihat sesuatu hanya dari luar tanpa memahami keseimbangan nilainya. Tentu kritik terhadap praktik yang tidak ideal di pesantren boleh saja. Tetapi cara pandang yang menyamaratakan seluruh tradisi adab menjadi simbol feodalisme justru menunjukkan ketidakpahaman terhadap esensi pesantren itu sendiri. Dunia pesantren tidak bisa dipahami dengan kacamata tunggal. Ia hanya bisa dimengerti jika kita berpikir dalam dua spektrum. Dari sisi santri yang hidup dalam disiplin adab, dan dari sisi kyai yang memikul tanggung jawab moral atas penghormatan yang diterimanya.

“Pesantren itu bukan hanya tempat belajar, tapi tempat berproses menjadi manusia.” kata KH. Sahal Mahfudz

Pernyataan almarhum KH. Sahal Mahfudz itu menggambarkan hakikat pesantren yang sesungguhnya. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak hanya mencetak cendekiawan, tapi juga membentuk karakter, menumbuhkan adab dan melatih keikhlasan. Di dalamnya, relasi antara santri dan kyai bukan hubungan administratif, melainkan hubungan rohani yang berlandaskan rasa hormat dan kasih sayang.

Spektrum Pertama: Santri dan Nilai Kehormatan

Dalam tradisi pesantren, adab adalah pintu ilmu. Sejak hari pertama nyantri, seorang murid diajarkan bahwa ilmu tidak akan berkah tanpa akhlak dan adab. Karena itu, perilaku seperti menundukkan kepala, mencium tangan kyai, atau berdiri bahkan menunduk saat kyai masuk majelis bukan bentuk penindasan, melainkan manifestasi cinta dan penghargaan.

Santri tidak melihat kyai sebagai penguasa, tetapi sebagai penjaga ilmu. Rasa takzim itu bukan muncul dari rasa takut, tapi dari kesadaran bahwa seorang guru adalah perantara menuju pemahaman yang lebih tinggi. Dalam pandangan santri, barokah bukanlah mitos, tetapi hasil dari sikap batin yang bersih terhadap guru.

Sayangnya, bagi sebagian orang luar termasuk media seperti Trans7, ritual hormat itu tampak seperti simbol ketundukan. Mereka lupa bahwa adab dan feodalisme bukanlah hal yang sama. Feodalisme menuntut ketaatan karena status, sementara adab menumbuhkan hormat karena cinta. Trans7 gagal melihat perbedaan itu.

Mereka menilai sikap santri yang menunduk atau mencium tangan sebagai ekspresi inferioritas sosial, padahal itu bagian dari pendidikan spiritual yang berakar pada nilai ta’dzim (penghormatan) terhadap ilmu. Kesalahan seperti ini sering terjadi karena media modern menilai dunia pesantren dengan kacamata rasionalistik, sementara pesantren beroperasi dalam logika moral dan spiritual.

Liputan Trans7, misalnya, menampilkan santri yang mencuci baju kyai dan menyapu rumahnya, lalu menyebutnya sebagai bentuk “pengabdian tanpa imbalan.” Padahal di banyak pesantren, praktik semacam itu justru dikenal sebagai riyadhah, latihan spiritual untuk menumbuhkan kerendahan hati dan tanggung jawab. Pekerjaan itu bukan beban, tetapi cara belajar hidup. Seperti dirangkum dari nilai-nilai etika dan spiritual yang diajarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari, membersihkan rumah kyai adalah bagian dari belajar membersihkan hati.

Namun tentu tidak semua praktik dalam dunia pesantren ideal. Ada kalanya penghormatan memang bergeser menjadi kultus. Ketika santri dilarang berpikir kritis, ketika semua keputusan kyai dianggap mutlak benar, di situlah benih feodalisme tumbuh. Hormat yang tulus berubah menjadi ketakutan dan adab yang luhur kehilangan akarnya.

Di sinilah pentingnya kesadaran dua arah. Bahwa santri menghormati bukan karena diperintah, tapi karena sadar. Penghormatan tidak boleh menghapus nalar dan kesetiaan tidak boleh membunuh logika. Rasulullah sendiri mengajarkan, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Sang Pencipta.” Maka santri yang baik bukan yang hanya tunduk, tetapi juga berpikir jernih dan menjaga kebenaran.

Spektrum Kedua: Kyai dan Amanah Kerendahan Hati

Jika santri dituntut beradab, maka kyai dituntut berendah hati. Dalam masyarakat pesantren, posisi kyai begitu tinggi. Ia menjadi panutan, pemimpin moral dan kadang juga simbol kebanggaan daerah. Namun di balik itu ada tanggung jawab besar yakni menjaga agar penghormatan yang diterimanya tidak berubah menjadi pengagungan.

Dalam posisi sosial masyarakat daerah, kyai adalah sosok sentral yang dihormati bukan hanya oleh santri, tapi juga masyarakat. Ia dianggap orang saleh, penjaga ilmu dan seringkali menjadi rujukan moral dalam urusan publik. Karena itulah, beban moral seorang kyai jauh lebih berat. Namun di sinilah pula muncul potensi bahaya “kenikmatan dihormati“. Bila tidak hati-hati, penghormatan yang berlebihan dari santri dan masyarakat bisa menumbuhkan perasaan “lebih tinggi”, bahkan tanpa disadari.

Rasulullah memberi teladan luar biasa dalam hal ini. Ketika para sahabat berdiri menyambut beliau, Nabi menolak dan bersabda, “Janganlah kalian berdiri untukku seperti orang-orang non-Arab berdiri untuk menghormati pemimpin mereka.” (HR. Abu Dawud).

Beliau duduk di antara para sahabat tanpa jarak, makan di lantai, menambal sandalnya sendiri dan menolak dipanggil dengan gelar berlebihan. Bahkan, dalam peperangan, beliau tidak berdiri di atas kuda putih seperti raja, melainkan berjalan di antara para sahabatnya, menundukkan kepala rendah hingga hampir menyentuh pelana.

Seorang kyai sejati tidak meminta dihormati, karena ia tahu bahwa penghormatan sejati lahir dari keikhlasan. Ia tidak menganggap dirinya pusat semesta pesantren, melainkan penjaga amanah ilmu. Jika santri bersikap takzim, ia menerimanya dengan rasa tanggung jawab, bukan kebanggaan. Jika santri menunduk, ia justru mendoakan agar santrinya kelak bisa berdiri tegak di jalan ilmu.

Feodalisme tidak lahir dari ajaran agama, tapi dari rasa nyaman terhadap posisi tinggi. Dan bahaya ini bisa menimpa siapa pun, termasuk ulama, jika lupa bahwa di hadapan Allah, semua manusia setara. Yang membedakan hanyalah ketakwaan. Kyai sejati memahami bahwa kehormatan sejati lahir dari kerendahan hati, bukan dari jarak sosial.

Namun tak bisa dipungkiri, ada sebagian kecil oknum yang menjadikan status “kyai” sebagai alat kekuasaan. Ia menikmati penghormatan berlebihan, mengatur santri dan jamaah dengan gaya patron-klien, bahkan mewariskan otoritas kepada keluarga serta membiarkan pengasuh pesantren bersikap berlebihan kepada santrinya. Fenomena itu nyata, dan justru karena itulah diperlukan cara berpikir dua spektrum. Kritik terhadap penyimpangan tidak boleh menafikan nilai luhur pesantren dan penghormatan terhadap tradisi tidak boleh membutakan diri dari evaluasi.

Pertemuan Dua Spektrum: Jalan Tengah yang Menyejukkan

Hubungan ideal antara santri dan kyai bukanlah vertikal yang kaku, tapi dialog spiritual yang saling menumbuhkan. Santri menghormati karena cinta, bukan karena takut. Kyai memimpin karena kasih, bukan karena ingin dihormati.

Jika dua spektrum ini bertemu di tengah, maka pesantren akan kembali menjadi taman ilmu dan akhlak yang seimbang. Santri belajar takdzim dan menghormati, kyai mengajar tanpa merasa suci. Keduanya sama-sama berjalan di jalan Rasulullah, jalan kerendahan hati dan keseimbangan.

Islam sendiri mengajarkan ummatan wasathan, umat yang moderat. Artinya, tidak berlebihan dalam menghormati, tapi juga tidak sembrono dalam bersikap.

Santri tidak boleh kehilangan akalnya, tapi juga tidak boleh kehilangan adabnya.

Kyai tidak boleh kehilangan wibawanya, tapi juga tidak boleh kehilangan kesederhanaannya.

Dan media yang berintegritas adalah yang menulis tanpa menistakan.

Islam sendiri selalu menolak ekstremitas. Di satu sisi, Islam menolak penghinaan terhadap guru, tetapi di sisi lain juga menolak pengkultusan terhadap manusia. Rasulullah tidak pernah memposisikan dirinya di atas umat. Bahkan saat menaklukkan Mekah, beliau masuk kota dengan kepala menunduk begitu rendah hingga hampir menyentuh pelana unta. Ini tanda bahwa kemenangan tidak membuatnya meninggi dan minta ditinggikan.

Feodalisme bukan warisan Islam. Ia lahir dari kesalahan manusia dalam menafsirkan penghormatan. Maka yang perlu dihapus bukanlah adabnya, tetapi penghormatan yang berlebihan. Adab harus tetap hidup, sebab di situlah letak keindahan pesantren. Tapi adab harus dibarengi dengan akal, agar tidak berubah menjadi ketaatan buta.

Menunduk Tanpa Menyembah

Pada akhirnya, dunia pesantren adalah dunia keseimbangan antara adab dan akal, antara cinta dan kebijaksanaan.
Trans7 boleh melihat pesantren dari kamera, tapi santri melihatnya dari hati dan yang dilihat hati jauh lebih dalam dari yang ditangkap lensa.

Kita tidak perlu menolak penghormatan, cukup mengembalikan maknanya ke tempat yang benar. Hormat bukan berarti tunduk dan memuliakan bukan berarti menuhankan. Kyai sejati akan tetap rendah hati dan santri sejati akan tetap hormat dengan akal yang jernih.

Jika keduanya berjalan di jalur itu, pesantren tidak akan menjadi tempat feodal seperti yang digambarkan media, melainkan taman akhlak dan akal sehat di mana orang belajar menunduk tanpa menyembah, belajar mencintai tanpa mengkultuskan dan belajar berilmu tanpa kehilangan nurani.

Dunia pesantren akan tetap menjadi mercusuar peradaban Islam di Nusantara. Pesantren tidak hanya tempat di mana manusia belajar tentang ilmu, tapi juga tentang bagaimana menjadi manusia yang rendah hati di hadapan Allah.

(Setiawan)

Artikel ini telah dibaca 23 kali

badge-check

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Terbantahnya Klaim Teror Mahasiswa KKN Lumajang, Sebuah Pelajaran Berharga

19 Agustus 2025 - 11:37 WIB

teror mahasiswa kkn lumajang

Penilaian Ulang NJOP dan Kenaikan PBB yang Adil, Bertahap dan Pro Rakyat

13 Agustus 2025 - 19:46 WIB

kenaikan pbb

Argo Bromo Anggrek Kompartemen, Membelah Jawa Dengan Kenyamanan

8 Agustus 2025 - 20:55 WIB

Agus Setiawan Beri Penjelasan Mengenai Fokus Pemkab Lumajang dalam Pengadaan Motor Operasional untuk Desa

16 April 2025 - 16:22 WIB

Warga Ungkap Harapan kepada Gubernur Khofifah lewat Media Sosial

24 Maret 2025 - 12:28 WIB

Viral Tambang Ilegal di Lumajang | Opini

11 Mei 2024 - 21:09 WIB

Trending di Bisnis