Lumajang, – Ketika erupsi Gunung Semeru menyisakan duka, kehilangan, dan ketidakpastian, suasana di sejumlah titik pengungsian dilingkupi rasa letih sekaligus harap.
Abu vulkanik masih menempel di sudut-sudut bangunan, bau tanah basah bercampur dengan aroma logistik yang baru dibuka, sementara wajah-wajah penyintas, anak-anak, perempuan, hingga lansia, masih terlihat pucat di balik masker.
Di tengah kondisi yang serba terbatas itu, secercah harapan muncul dari langkah-langkah kecil yang dilakukan seorang legislator daerah, Ratih Damayanti.
Sebagai anggota DPRD Lumajang dari Fraksi PDI Perjuangan, kehadiran Ratih seharusnya menjadi pemandangan biasa dalam agenda penyaluran bantuan bencana.
Namun ada yang berbeda dari dirinya pada hari itu. Ratih tidak berdiri di depan kamera, tidak menunggu laporan staf, dan tidak sekadar menonton tumpukan bantuan dipindahkan ke tempat logistik.
Justru ia terlihat membaur dengan para relawan, menanggalkan batas-batas formalitas yang biasanya melekat pada seorang pejabat publik.
Dengan memakia kerudung merah yang tersapu debu dan pakaian yang mulai kusam oleh keringat, Ratih bergerak dari satu titik ke titik lain. Ia merunduk untuk mengikat kardus bantuan, memastikan setiap tali tidak mudah lepas.
Tangannya cekatan menghitung dan menata mie instan, seolah khawatir ada satu bungkus pun yang tertinggal. Ia mengangkat beras lima kilogram menggunakan kedua tangannya, berhenti sebentar untuk memastikan siapa yang paling membutuhkan.
Bahkan selimut, benda sederhana yang dapat menghangatkan malam-malam pengungsi, ia periksa satu per satu, memastikan semuanya layak digunakan dan bersih.
Dalam momen-momen itulah tampak jelas, Ratih bukan hanya hadir sebagai seorang pejabat. Ia hadir sebagai manusia yang memahami bahwa bencana tidak hanya meluluhlantakkan rumah dan harta benda, tetapi juga menghancurkan rasa aman dan kenyamanan jiwa.
Gestur-gestur kecil, yang mungkin dianggap sepele oleh sebagian orang, justru menjadi penegasan bahwa kemanusiaan bukanlah soal besarnya bantuan, melainkan kesungguhan hati dalam membantu.
Di antara abu pekat dan langit yang mendung, langkah Ratih menjadi gambaran kehangatan masih hidup di tengah kegetiran. Bahwa dalam suasana kacau, masih ada sosok yang mampu menurunkan egonya, merapatkan barisan dengan warga, dan hadir sepenuh hati tanpa sekat.
Ia memberikan pesan bahwa gotong royong tetap menjadi napas masyarakat Lumajang, bahkan ketika bencana berusaha merenggut segalanya.
Jejak kemanusiaan itu mungkin tidak tercatat dalam laporan resmi atau dokumentasi panjang. Namun bagi para penyintas yang melihatnya langsung, bagi mereka yang menerima selimut dari tangannya, atau bantuan yang ditatanya sendiri, Ratih meninggalkan sesuatu yang jauh lebih berarti, harapan.
Sebuah harapan bahwa meski Semeru mengguncang tanah dan kehidupan, tidak semua hal runtuh. Masih ada nilai yang tetap berdiri tegak, kemanusiaan.
“Saya bukan siapa-siapa, ketika saya sudah dilapangan, sayapun sama dengan mereka, sama rakyat, dan bukan pejabat. Bagi saya, semua itu sama, dan tidak ada yang berbeda,” jelasnya, Minggu (30/11/2025).
Tinggalkan Balasan