Molen, Lamadjang Tigang Juru, dan Bola Voli, Jejak Sejarah Nambi

Menu

Mode Gelap
EDITORIAL | Birokrasi Lemot, Anggaran Mandek, Moral ASN Rapuh: Saatnya Indah Masdar Lakukan Bersih-Bersih di Lumajang Bunda Indah: Santri Masa Kini Harus Jadi Pelopor Peradaban yang Berakar pada Moral dan Nasionalisme Bunda Indah Gaungkan “Nguri-Nguri Budaya Jawa”: Sekolah Jadi Ruang Cerdas yang Berakar pada Kearifan Lokal Santri Lumajang Gelar Aksi Damai: Meneguhkan Nilai Pesantren dan Etika Publik “Gema Berbaris” Lumajang: Mencetak Generasi Madrasah yang Cerdas, Religius, dan Nasionalis

Ekonomi · 2 Agu 2025 10:44 WIB ·

Molen, Lamadjang Tigang Juru, dan Bola Voli, Jejak Sejarah yang Hidup di Turnamen Lumajang


 Molen, Lamadjang Tigang Juru, dan Bola Voli, Jejak Sejarah yang Hidup di Turnamen Lumajang Perbesar

Lumajang, – Di tengah sorak sorai penonton dan gemuruh bola yang memantul di lapangan Desa Banyuputih Lor, Kecamatan Randuagung, ada aroma manis yang menggoda indra. Bukan sekadar gorengan biasa, ini adalah molen. Tapi bukan molen sembarangan, karena di dalam balutan renyahnya, tersembunyi isi yang mengikat sejarah, tanah, dan identitas warga Lumajang, yakni Pisang Candi. Ya, di Randuagung terdapat Candi Agung yang menjadi saksi sejarah kebesaran Kerajaan Lamadjang Tigang Juru di masa lalu.

Baca juga: Patih Nambi, Pahlawan Lamajang Tigang Juru

Gelaran turnamen Bola Voli Bupati Cup 2025 ini yang berlangsung di Kecamtan Randuagung menjadi ajang unjuk kekuatan dan strategi antar-tim. Turnamen ini menjadi tolak ukur untuk kemajuan bola voli Lumajang. Lebih dari itu, ia menjadi ajang untuk mengenalkan kembali siapa dirinya melalui makanan, cerita, dan sejarah panjang yang nyaris terlupakan.

“Turnamen ini bukan hanya soal olahraga. Ini soal kebangkitan. Soal membangkitkan rasa memiliki terhadap tanah kelahiran,” kata Agus Setiawan, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Lumajang, saat berada di salah satu tenda UMKM yang berdiri di sisi utara lapangan, Sabtu (2/8/25).

Baca juga: Dari Randuagung untuk Indonesia: Bupati Cup Lumajang Targetkan Atlet ke Tingkat Nasional

Pisang Candi yang menggoda selera

Sebanyak 26 stand UMKM berdiri berjejer, menjajakan aneka makanan dan minuman hasil olahan lokal. Tapi di antara semuanya, stand molen menjadi yang paling ramai. Bukan karena tampilannya mencolok, tapi karena cerita yang dikandungnya.

Molen-molen itu diisi dengan pisang candi, jenis pisang khas Kecamatan Randuagung yang selama ini tumbuh liar di kebun warga, namun menyimpan jejak sejarah peradaban kuno. Randuagung memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah kebesaran Kerajaan Lamadjang Tigang Juru di masa silam.

“Pisang candi ini bukan sembarang buah. Ini bisa dibilang saksi hidup dari masa lalu kita. Dulu, pisang ini hanya tumbuh di sekitar Candi Agung,” kata Agus sambil mencicipi satu molen hangat yang baru diangkat dari penggorengan.

Baca juga: Yang Tak Terdata Justru Paling Membutuhkan: Bupati Lumajang Dorong Pendataan Lapangan

Candi Agung bukti sejarah kebesaran Lamadjang Tigang Juru

Untuk diketahui, tak jauh dari lokasi turnamen, berdiri sebuah Candi Agung, situs purbakala yang konon menjadi tempat Patih Nambi, tokoh penting dalam sejarah Majapahit dan Lamajang Tigang Juru yang melakukan semedi.

Patih Nambi yang kala itu sedang menenangkan diri setelah menerima kabar dari telik sandinya, Kerajaan Majapahit, dengan kekuatan besar, akan menyerang Kerajaan Lamajang. Ramapati Dyah Halayudha memimpin langsung penyerbuan Majapahi ke Lamadjang Tigang Juru.

Candi Agung bukan sekadar tumpukan batu tua, tapi simbol kejayaan, kesuburan dan kesejahteraan Lamajang sebelum akhirnya menjadi bagian dari sejarah panjang Majapahit.

Kini, ratusan tahun kemudian, wilayah yang sama itu ramai kembali. Tapi bukan karena perang. Melainkan karena olahraga dan semangat kebersamaan. Dan pisang candi yang dulu mungkin menjadi bekal prajurit, kini berubah rupa menjadi kudapan yang menarik para penonton untuk menikmatinya di tribun.

Di bawah tenda biru putih, Siti Khotimah, perempuan 42 tahun yang menjual molen sejak sore, tak henti melayani antrean.

“Saya awalnya cuma iseng bikin molen dari pisang candi. Ternyata banyak yang suka. Katanya rasa pisangnya beda—lebih legit dan gurih,” ujarnya sembari tersenyum malu.

Ia tak pernah menyangka molen buatannya akan menjadi buah bibir di turnamen sebesar ini. Bahkan, banyak pengunjung yang mengaku baru kali ini benar-benar merasa “bertemu” dengan sejarah Lumajang, bukan lewat buku, tapi lewat rasa.

“Waktu saya gigit molennya, kayak ada rasa nostalgia, walau saya sendiri nggak tahu kenapa. Mungkin karena tempatnya di Randuagung, dekat candi. Rasanya jadi sakral, ya?,” kata Arif, salah satu penonton asal Klakah.

Artikel ini telah dibaca 19 kali

badge-check

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kadin Lumajang Genjot Transformasi Digital Demi Ciptakan Desa Berdaya Saing di Tengah Persaingan Global

16 November 2025 - 16:54 WIB

Jika Disetujui, UMK Lumajang 2026 Berpotensi Tembus Rp 2,6 Juta

16 November 2025 - 11:03 WIB

Pemberdayaan Ekonomi Lokal Melalui Festival UMKM dan Pesona Budaya 2025

8 November 2025 - 20:38 WIB

Lumajang Kurangi Ketergantungan Bantuan, PKH Cetak Ratusan Keluarga Mandiri

2 Oktober 2025 - 11:03 WIB

Ketua Kadin Lumajang Imbau Jaga Kondusifitas Jelang Demo 3 September, Stabilitas Kunci Pertumbuhan Ekonomi

28 Agustus 2025 - 20:23 WIB

ketua kadin lumajang

1.000 Ton Gula Petani Lumajang Diserap Pemerintah, Harga Dijamin Stabil

22 Agustus 2025 - 10:11 WIB

Trending di Daerah