Molen, Lamadjang Tigang Juru, dan Bola Voli: Jejak Sejarah yang Hidup di Turnamen Lumajang - Lensa Warta

Menu

Mode Gelap
Khofifah Serahkan Santunan Rp10 Juta untuk Keluarga Korban KMP Tunu Pratama Jaya yang Tenggelam di Selat Bali Nggak Pake Ribet! Ini Cara Membaca Pesan WhatsApp Tanpa Membuka Chat RSNU Permata Lumajang Diproyeksikan Jadi Rumah Sakit Unggulan Berbasis Nahdliyin RSNU Lumajang Gelar Operasi Bibir Sumbing Gratis untuk Puluhan Warga Tak Mampu Bupati Lumajang: RSNU Harus Jadi Rumah Sakit Inklusif untuk Semua Golongan

Ekonomi · 2 Agu 2025 10:44 WIB ·

Molen, Lamadjang Tigang Juru, dan Bola Voli: Jejak Sejarah yang Hidup di Turnamen Lumajang


 Molen, Lamadjang Tigang Juru, dan Bola Voli: Jejak Sejarah yang Hidup di Turnamen Lumajang Perbesar

Lumajang, – Di tengah sorak sorai penonton dan gemuruh bola yang memantul di lapangan Desa Banyuputih Lor, Kecamatan Randuagung, ada aroma manis yang menggoda indra.

Bukan sekadar gorengan biasa, ini adalah molen. Tapi bukan molen sembarangan, karena di dalam balutan renyahnya, tersembunyi isi yang mengikat sejarah, tanah, dan identitas warga Lumajang, yakni Pisang Candi.

Gelaran turnamen Bola Voli Bupati Cup 2025 ini yang diselenggarakan di Kecamtan Randuagung menjadi ajang unjuk kekuatan dan strategi antar-tim.

Turnamen ini menjadi tolak ukur untuk kemajuan bola voli Lumajang. Lebih dari itu, ia menjadi ajang untuk mengenalkan kembali siapa dirinya melalui makanan, cerita, dan sejarah panjang yang nyaris terlupakan.

“Turnamen ini bukan hanya soal olahraga. Ini soal kebangkitan. Soal membangkitkan rasa memiliki terhadap tanah kelahiran,” kata Agus Setiawan, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Lumajang, saat ditemui di salah satu tenda UMKM yang berdiri di sisi utara lapangan, Sabtu (2/8/25).

Baca juga: Dari Randuagung untuk Indonesia: Bupati Cup Lumajang Targetkan Atlet ke Tingkat Nasional

Sebanyak 26 stand UMKM berdiri berjejer, menjajakan aneka makanan dan minuman hasil olahan lokal. Tapi di antara semuanya, stand molen menjadi yang paling ramai. Bukan karena tampilannya mencolok, tapi karena cerita yang dikandungnya.

Molen-molen itu diisi dengan pisang candi, jenis pisang khas Kecamatan Randuagung yang selama ini tumbuh liar di kebun warga, namun menyimpan jejak sejarah peradaban kuno.

“Pisang candi ini bukan sembarang buah. Ini bisa dibilang saksi hidup dari masa lalu kita. Dulu, pisang ini hanya tumbuh di sekitar Candi Agung,” kata Agus sambil mencicipi satu molen hangat yang baru diangkat dari penggorengan.

Baca juga: Yang Tak Terdata Justru Paling Membutuhkan: Bupati Lumajang Dorong Pendataan Lapangan

Untuk diketahui, tak jauh dari lokasi turnamen, berdiri sebuah Candi Agung, situs purbakala yang konon menjadi tempat Patih Nambi, tokoh penting dalam sejarah Majapahit dan Lamajang Tigang Juru yang melakukan semedi.

Nambi yang kala itu sedang menenangkan diri setelah menerima kabar dari telik sandinya, Kerajaan Majapahit, dengan kekuatan besar, akan menyerang Kerajaan Lamajang. Penyerbuan itu akan dipimpin langsung oleh Patih Diyah Halayuda.

Candi Agung bukan sekadar tumpukan batu tua, tapi simbol kejayaan, kesuburan dan kesejahteraan Lamajang sebelum akhirnya menjadi bagian dari sejarah panjang Majapahit.

Kini, ratusan tahun kemudian, wilayah yang sama itu ramai kembali. Tapi bukan karena perang. Melainkan karena olahraga dan semangat kebersamaan. Dan pisang candi yang dulu mungkin menjadi bekal prajurit, kini berubah rupa menjadi kudapan yang dinikmati para penonton di bangku tribun.

Di bawah tenda biru putih, Siti Khotimah, perempuan 42 tahun yang menjual molen sejak sore, tak henti melayani antrean.

“Saya awalnya cuma iseng bikin molen dari pisang candi. Ternyata banyak yang suka. Katanya rasa pisangnya beda—lebih legit dan gurih,” ujarnya sembari tersenyum malu.

Ia tak pernah menyangka molen buatannya akan menjadi buah bibir di turnamen sebesar ini. Bahkan, banyak pengunjung yang mengaku baru kali ini benar-benar merasa “bertemu” dengan sejarah Lumajang, bukan lewat buku, tapi lewat rasa.

“Waktu saya gigit molennya, kayak ada rasa nostalgia, walau saya sendiri nggak tahu kenapa. Mungkin karena tempatnya di Randuagung, dekat candi. Rasanya jadi sakral, ya?,” kata Arif, salah satu penonton asal Klakah.

Artikel ini telah dibaca 13 kali

badge-check

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Wedang Angsle, Hangatnya Tradisi dalam Semangkok Kenangan

1 Agustus 2025 - 22:19 WIB

Wedang Angsle

38 UMKM Tampilkan Inovasi Produk Unggulan di BI Youth Tiful Festival Malang 2025

30 Juli 2025 - 19:38 WIB

Dari Lapangan ke Lapak, Cerita Ekonomi Mikro yang Tumbuh dari Suara Peluit

30 Juli 2025 - 18:47 WIB

Ketua Kadin Lumajang: BBM Aman, Stop Panic Buying!

29 Juli 2025 - 17:39 WIB

Isu Beras Oplosan Merebak, Pedagang di Malang Tetap Berjualan Seperti Biasa

26 Juli 2025 - 11:52 WIB

Dari Desa untuk Bangsa, Embrio Peternakan Desa Buwek yang Siap Dukung Ketahanan Pangan Nasional

24 Juli 2025 - 14:44 WIB

Trending di Ekonomi