Lumajang, – Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa, bukan hanya menyimpan keindahan alam yang megah, tetapi juga kisah tragis dan heroik dari seorang aktivis muda Indonesia, Soe Hok Gie.
Pada 16 Desember 1969, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, Soe Hok Gie mengembuskan napas terakhir di puncak Mahameru akibat menghirup gas beracun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam sekaligus warisan pemikiran yang terus hidup hingga kini.
Soe Hok Gie dikenal sebagai salah satu aktivis mahasiswa paling vokal pada era pergolakan politik Indonesia tahun 1960-an. Ia bukan hanya seorang intelektual kritis, tetapi juga penulis, pecinta alam, dan pendaki gunung yang menjadikan alam sebagai ruang perenungan dan kebebasan berpikir.
Latar Belakang dan Riwayat Hidup
Soe Hok Gie lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942. Ia berasal dari keluarga etnis Tionghoa yang menganut Katolik Roma. Leluhurnya berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Tiongkok. Ayahnya bernama Soe Lie Piet, yang juga dikenal dengan nama Salam Sutrawan.
Gie merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Lingkungan keluarga yang intelektual membentuk karakter kritisnya sejak dini.
Salah satu kakaknya, Arief Budiman, dikenal sebagai sosiolog dan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana yang juga memiliki pandangan politik kritis dan vokal. Diskusi-diskusi pemikiran dan kepekaan terhadap ketidakadilan sosial tumbuh kuat dalam diri Soe Hok Gie sejak masa muda.
Aktivis Mahasiswa Ikonik Era 1960-an
Nama Soe Hok Gie mulai dikenal luas sebagai aktivis mahasiswa Universitas Indonesia yang berani menyuarakan kritik keras terhadap kekuasaan.
Ia lantang mengkritik pemerintahan Presiden Soekarno pada masa Orde Lama, serta tidak segan mengkritik rezim awal Presiden Soeharto di awal Orde Baru.
Bagi Gie, kekuasaan harus selalu diawasi, dan mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan kebenaran.
Selain aktif dalam gerakan mahasiswa, Soe Hok Gie juga dikenal sebagai penulis produktif. Catatan hariannya menggambarkan kegelisahan seorang intelektual muda terhadap kondisi bangsa, ketidakadilan, serta kemunafikan politik. Tulisan-tulisannya tajam, jujur, dan sering kali penuh refleksi filosofis.
Di luar dunia politik, Gie adalah seorang pencinta alam sejati. Ia menjadi salah satu pendiri Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI).
Bagi Gie, mendaki gunung bukan sekadar petualangan fisik, melainkan perjalanan spiritual untuk menemukan kejujuran, kesederhanaan, dan makna hidup yang sering hilang di tengah hiruk-pikuk politik.
Petualangan Terakhir di Gunung Semeru
Gunung Semeru memiliki tempat istimewa di hati Soe Hok Gie. Pada Desember 1969, ia bersama rekan-rekannya melakukan ekspedisi pendakian ke puncak Mahameru. Pendakian itu bertepatan dengan momen ulang tahunnya yang ke-27.
Namun, takdir berkata lain. Pada 16 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama sahabatnya, Idhan Dhanvantari Lubis, meninggal dunia di puncak Semeru akibat menghirup gas beracun yang keluar dari kawah. Kepergian Gie yang begitu mendadak mengejutkan banyak pihak, terutama kalangan mahasiswa dan aktivis yang mengenalnya sebagai simbol perlawanan moral.
Kematian Soe Hok Gie di gunung yang sangat dicintainya kemudian dimaknai sebagai akhir yang simbolis. Ia wafat di alam bebas, jauh dari intrik politik, dalam keheningan puncak gunung yang selama ini menjadi ruang kejujurannya.
Warisan Pemikiran yang Tak Pernah Padam
Jenazah Soe Hok Gie dimakamkan di Jakarta. Meski hidupnya singkat, pengaruh pemikiran dan keteladanannya tetap bertahan lintas generasi. Catatan hariannya menjadi sumber penting untuk memahami dinamika sosial dan politik Indonesia pada era 1960-an, sekaligus potret kegelisahan seorang anak muda yang mencintai bangsanya dengan cara yang jujur.
Sosok Soe Hok Gie kemudian diangkat ke dalam film, buku, dan berbagai karya seni lainnya. Ia dikenang sebagai simbol integritas, keberanian berpikir kritis, idealisme, dan cinta Tanah Air.
Dalam sejarah Indonesia, nama Soe Hok Gie akan selalu hidup sebagai pengingat bahwa kejujuran dan keberanian sering kali menuntut pengorbanan besar.
Di puncak Semeru, kisah Soe Hok Gie berakhir. Namun dalam ingatan bangsa, perjuangan dan pemikirannya terus mendaki, menembus zaman.
Tinggalkan Balasan