Lumajang, – Lumajang kembali membuktikan bahwa kekayaan budaya Jawa masih hidup dan berdenyut kuat di kaki Gunung Semeru.
Pada Sabtu (30/8/25), ribuan pasang mata terpaku menyaksikan sendratari Ramayana yang dipertunjukan secara kolosal oleh warga RW 01, Desa Senduro, Kecamatan Senduro, dalam rangkaian acara Festival Gunung Semeru 2025.
Tari kolosal ini tak sekadar menjadi suguhan hiburan, tapi bentuk nyata semangat gotong royong masyarakat dalam menjaga dan melestarikan budaya warisan leluhur. Dengan mengangkat kisah klasik Ramayana, berhasil menghadirkan pertunjukan yang meriah sekaligus penuh makna.
Sebanyak 70 penari dari berbagai usia, mulai dari siswa sekolah dasar hingga orang dewasa ikut menari dengan penuh penghayatan, membawakan delapan adegan utama dalam epos Ramayana.
Gerakan mereka diiringi alunan gamelan yang mengalun syahdu, membuat suasana malam semakin sakral dan magis.
Baca juga: Penangkapan Pelaku Ilegal Logging di Lumajang Picu Ketegangan dengan Warga
Penonton bersorak ketika satu per satu adegan dimulai. Kisah dimulai dari kemenangan Raden Rama Wijaya dalam sayembara memperebutkan hati Dewi Sinta, hingga penculikan Sinta oleh Rahwana yang digambarkan lewat kemunculan penari berkostum kijang emas.
Nuansa berubah saat sosok Hanoman dan pasukannya muncul untuk menyelamatkan Sinta, tetapi sempat dihantam oleh pasukan Rahwana.
Ketegangan memuncak dalam pertarungan Rama dan Rahwana yang digambarkan lewat gerakan tari dinamis, intens, dan penuh energi.
Baca juga: Molen, Lamadjang Tigang Juru, dan Bola Voli, Jejak Sejarah yang Hidup di Turnamen Lumajang
“Semua penari kami libatkan dari lingkungan sekitar. Ini bentuk semangat warga untuk berkontribusi dalam pelestarian budaya,” ujar Kepala Desa Senduro, Farid Rahman.
Menurut Farid, seluruh pertunjukan digarap sendiri oleh warga RW 01. Mereka tidak hanya berlatih selama satu bulan penuh, tetapi juga menyiapkan properti, kostum secara swadaya. Meski tanpa sentuhan profesional, hasilnya tak kalah megah.
“Sendratari ini menggambarkan perjuangan Rama untuk mendapatkan kembali Dewi Sinta. Kami ingin menunjukkan bahwa desa kami punya potensi seni yang luar biasa,” kata Farid, yang merupakan ketua panitia festival Gunung Semeru ini.
Ia menjelaskan dari total delapan adegan yang ditampilkan, semuanya dirancang agar tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi juga menyuguhkan visual yang indah dan dinamis.
Kehadiran karakter Hanoman dan Burung Garuda, misalnya, sengaja ditambahkan untuk memperkaya penampilan agar penonton tidak bosan dengan alur cerita yang panjang.
“Penonton sekarang butuh visual yang kuat. Maka kami mainkan kekuatan kostum, kolosal, dan musik,” tuturnya.
Festival Gunung Semeru yang diikuti 29 pesertase Kecamatan Senduro, dan 1.000 penari godril ini memang tak hanya menjadi panggung seni.
Bagi warga, festival ini adalah ruang untuk mengekspresikan rasa cinta terhadap budaya, sekaligus momentum untuk mempererat persaudaraan.
“Ini bukan hanya pertunjukan. Ini wujud syukur kami atas tanah yang kami pijak, dan penghormatan kepada budaya yang kami warisi. Kami ingin budaya Jawa tetap hidup di lereng Semeru ini,” ujar Farid mengakhiri.
Pertunjukan ditutup dengan adegan Sinta Obong saat Dewi Sinta membuktikan kesetiaannya kepada Rama dengan membakar diri. Musik mengalun meriah, penari memberi salam penghormatan, dan sorak sorai kembali menggema. Malam itu, lereng Gunung Semeru bukan hanya saksi cerita cinta klasik, tetapi juga semangat masyarakat yang luar biasa dalam menjaga budaya.
Tinggalkan Balasan