Lumajang, – Siang itu, ketika debu tipis masih tertinggal di udara dan langit Lumajang tampak suram seolah ikut berkabung, dua perempuan berdiri saling merengkuh di tengah keramaian tempat yang penuh luka.
Di antara suara relawan yang sibuk dan isakan kecil para penyintas lainnya, momen itu seolah menghentikan waktu.
Sosok pertama adalah Ngasini (40), menyisakan luka, namun hatinya masih berusaha kuat menahan beban kehilangan yang tak terbayangkan.
Sosok kedua adalah Ratih Damayanti, anggota DPRD Lumajang dari Fraksi PDI Perjuangan, yang datang bukan membawa formalitas jabatan, tetapi membawa hati yang tergerak melihat rakyatnya porak-poranda diterjang bencana.
Saat Ratih berdiri di samping Ngasini, perempuan itu mulai membuka kisah pedih yang masih terasa hangat.
Ia bercerita tentang detik-detik rumahnya ditelan abu panas Gunung Semeru, tentang bagaimana dirinya hanya bisa berlari sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri.
Rumah yang selama puluhan tahun ia rawat, tempat ia membesarkan anak-anaknya, tempat ia menua bersama kenangan hidup, semua lenyap dalam hitungan jam.
“Saya tidak punya apa-apa lagi, semua hilang. Tapi saya masih bersyukur… saya masih hidup… masih bisa melihat matahari…” ucapnya, Minggu (30/11/2025).
Pada saat itu, suasana tiba-tiba menjadi hening. Para relawan yang tadinya mondar-mandir memperlambat langkah. Warga lain yang berada di sekitar menundukkan kepala, seolah turut merasakan beratnya beban yang ditanggung Ngasini.
Bahkan para relawan yang tengah memberikan bantuan tampak terdiam sejenak melihat Ngasini menangis hingga suaranya serak.
Sementara, Ratih yang mendengarkan tanpa sekalipun memalingkan wajah. Setiap kata Ngasini seolah menembus dadanya seperti sembilu. Dan di tengah cerita itu, tanpa ragu, Ratih merengkuh tubuh Ibu Ngasini dalam pelukan hangat.
Pelukan itu bukan pelukan seorang pejabat kepada warganya, itu adalah pelukan seorang anak kepada ibunya, pelukan manusia kepada manusia yang terluka.
Air mata Ratih jatuh bersamaan dengan air mata Ngasini, deras, tanpa ditahan, tanpa ada sekat diantara mereka berdua.
Di antara debu Semeru yang masih menempel di rambut dan pakaian mereka, tangis dua perempuan itu berpadu,
tangis kehilangan, tangis kesakitan, sekaligus tangis kekuatan yang perlahan mulai tumbuh.
Seolah Gunung Semeru tidak hanya meruntuhkan rumah-rumah, tetapi membuka ruang bagi dua jiwa ini untuk saling menggenggam dalam duka yang sama.
Ratih tidak mencoba menenangkan dengan kata-kata kosong. Ia tahu bahwa dalam situasi seperti ini, kalimat penyemangat bukanlah yang utama.
Yang mereka butuhkan adalah kehadiran, sentuhan yang tulus, bahwa mereka tidak berjalan sendiri menembus kepedihan.
“Saya merasakan apa yang ibu rasakan… Saya tidak ingin masyarakat menangis sendirian…” bisik Ratih sambil mempererat pelukannya.
Pelukan itu berlangsung lama. Lama sekali.
Dan pada saat keduanya melepaskan pelukan itu, meski mata masih basah, ada cahaya baru di wajah mereka.
Cahaya kecil yang menyiratkan bahwa dalam tumpukan abu erupsi, harapan tetap bisa ditemukan, asal ada manusia yang mau saling menguatkan. Dalam tangis yang menyatu itu, muncul kekuatan.
“Serta muncul keyakinan bahwa sebesar apa pun bencana merobohkan kehidupan, manusia selalu bisa saling menemukan untuk bangkit kembali,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan