Lumajang, – Tradisi piodalan di Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Desa Senduro, Kabupaten Lumajang, bukan hanya menjadi agenda spiritual tahunan umat Hindu, tapi juga menjelma sebagai ruang tumbuhnya ekonomi rakyat.
Ribuan umat yang memadati area pura memberi angin segar bagi pelaku UMKM lokal untuk memperkenalkan dan menjual produk-produk unggulan mereka.
Di sekitar pura, suasana meriah tak hanya datang dari doa-doa dan harum dupa, tapi juga dari deretan tenda-tenda UMKM yang menjajakan aneka produk lokal.
Mulai dari makanan ringan khas seperti kripik singkong, ting-ting jahe, rengginang, hingga busana dan pernak-pernik adat, semuanya laris manis diburu pengunjung yang ingin membawa pulang oleh-oleh khas Senduro.
“Di depan itu ada pasar oleh-oleh UMKM. Pesertanya bukan cuma dari Senduro, tapi juga dari luar daerah seperti Bandung dan Malang. Ini kesempatan besar bagi UMKM Lumajang untuk tampil,” ujar Wira Dharma, pengurus harian Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Jumat (11/7/25).
Menurutnya, piodalan kini telah menjadi momentum ekonomi yang inklusif. Dulu, perputaran uang hanya terjadi dalam lingkup kecil masyarakat desa. Kini, berkat tradisi yang mendatangkan ribuan pengunjung, Senduro mulai dikenal sebagai destinasi spiritual sekaligus pasar potensial bagi pelaku usaha kecil.
Baca juga: Raperda Perubahan APBD 2025 Disahkan, Lumajang Perkuat Pembangunan yang Responsif dan Akuntabel
“Tradisi ini bisa mendorong transformasi. Kalau dimanfaatkan serius, bisa lahir kolaborasi usaha yang lebih luas. Siapa tahu nanti ada pengusaha besar yang tertarik bekerja sama atau menyuplai produk lokal ke pasar yang lebih besar,” tambahnya.
Lebih dari sekadar perayaan keagamaan, kata dia, piodalan kini telah menjelma sebagai simpul ekonomi baru. Kolaborasi antara budaya dan usaha menciptakan ekosistem yang mendukung kemandirian desa.
Ke depan, pengurus pura berharap ada dukungan dari pemerintah daerah untuk penataan area sekitar pura, agar UMKM lokal memiliki ruang pamer yang lebih permanen dan layak.
“Kalau pelaku usaha diberi tempat yang bagus dan rapi, mereka bisa naik kelas. Kita ingin, dari tradisi lahir transformasi ekonomi,” jelas Wira Dharma.
Salah satu pelaku UMKM, Riki, merasakan langsung dampak ekonomi dari perayaan piwadalan. Ia menjual berbagai produk camilan seperti kripik dan ting-ting jahe dengan harga mulai Rp7.500 hingga Rp20.000. Hasilnya, omset yang ia raup bisa mencapai jutaan rupiah hanya dalam sehari semalam.
“Ramainya luar biasa. Banyak yang beli buat oleh-oleh, sampai kewalahan melayani pembeli,” kata Riki sambil tersenyum.
Tinggalkan Balasan