Lumajang, – Di bawah bayang-bayang megah Gunung Semeru, Lumajang menyimpan lebih dari sekadar lanskap alam yang memukau.
Kabupaten ini juga memeluk warisan kuliner yang kaya rasa dan sejarah, tersebar dari desa-desa di lereng gunung hingga pusat kota yang ramai oleh denyut kehidupan modern.
Di balik semangkuk soto, sepiring nasi jagung, atau potongan lupis legit, tersimpan narasi panjang tentang tanah, tradisi, dan ketahanan rasa di tengah arus zaman.
Perjalanan kuliner ini dimulai dari Senduro, sebuah kecamatan di kaki Gunung Semeru yang dikenal dengan hawanya yang sejuk dan hijaunya hamparan kebun. Di sini, makanan bukan sekadar kebutuhan, tapi bagian dari filosofi hidup yang membumi.
Di sebuah warung sederhana milik Mbah Tumirah, 67 tahun, pengunjung bisa mencicipi nasi jagung lengkap dengan urap daun pepaya, sambal terasi, dan tempe goreng hangat.
Dimasak di atas tungku kayu dengan cobek batu peninggalan suaminya, masakan Mbah Tumirah memiliki rasa yang kuat dan bersahaja.
Baca juga: Terisolasi 5 Hari, Siswa SDN Jugosari 3 Lumajang Akhirnya Bisa Sekolah Meski Harus Naik Ekskavator
“Sejak saya gadis, lauknya ya ini. Nggak ada micin-micinan. Yang penting sambelnya numplek,” ujarnya sambil tersenyum, tangannya lincah menyendok sambal.
Bahan-bahan diambil langsung dari kebun belakang rumah: jagung ditumbuk sendiri, daun pepaya dipetik saat fajar, dan kelapa diparut segar. Di sini, kuliner adalah lanjutan dari alam bukan produk industri.
Dari pegunungan, perjalanan membawa kami ke sisi pesisir selatan, tepatnya di Kecamatan Tempursari.
Daerah ini berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, menawarkan lanskap kuliner yang kontras dengan Senduro.
Di sebuah lapak bambu pinggir jalan, Bu Salimah menjajakan ikan asap hasil tangkapan suaminya. Ikan tongkol dan kuwe diasapi selama dua jam dengan sabut kelapa, menghasilkan aroma khas yang menggoda.
Baca juga: Molen, Lamadjang Tigang Juru, dan Bola Voli: Jejak Sejarah yang Hidup di Turnamen Lumajang
Sajian andalannya adalah sate tuna asap dengan sambal khas berbahan dasar kemiri dan cabai rawit. Proses memasaknya mempertahankan teknik tradisional yang diwariskan turun-temurun.
“Dulu almarhum bapak saya juga jualan di tempat ini. Dulu belum ada jalan, pembeli naik kuda,” kisah Bu Salimah.
Kuliner pesisir Lumajang tidak sekadar tentang rasa laut, tapi juga tentang ketekunan perempuan-perempuan desa dalam menjaga dapur-dapur mereka tetap hidup.
Ketika matahari mulai turun, pusat kota Lumajang menawarkan pesona yang berbeda. Di sekitar alun-alun kota, deretan penjual jajanan pasar membuka lapak, menciptakan simfoni aroma gula merah, kelapa parut, dan daun pisang yang menggoda.
Ada lupis legit yang disiram gula merah kental, cenil warna-warni yang kenyal, hingga serabi kuah santan yang dimasak di atas tungku kecil. Setiap kudapan adalah pengingat masa kecil banyak warga Lumajang dan kini mulai dicari lagi oleh generasi muda.
Salah satu penjaja yang masih bertahan adalah Bu Karmi, 58 tahun, yang berjualan sejak tahun 1989.
“Anak-anak sekarang banyak yang tahunya bubble tea, croffle. Tapi akhir-akhir ini banyak juga yang cari cenil. Katanya nostalgia,” katanya tertawa.
Meski restoran cepat saji dan cafe kekinian menjamur, masyarakat Lumajang tetap menjaga kuliner tradisional mereka. Beberapa komunitas pemuda bahkan aktif mengarsipkan resep-resep kuno lewat media sosial, membuat konten masak, hingga menyelenggarakan festival kuliner lokal tahunan.
Kehadiran kuliner Lumajang bukan sekadar soal rasa yang unik, tapi tentang bagaimana rasa itu lahir dari tanah, laut, dan tangan-tangan yang setia menjaga warisan.
Tinggalkan Balasan