Lumajang, – Di balik gemuruh air yang jatuh dari tebing tinggi, dan di antara rimbunnya pepohonan yang nyaris menutupi sinar matahari, sekelompok anak muda berdiri tegak membawa bendera Merah Putih.
Bukan di lapangan upacara atau halaman sekolah, melainkan di sebuah air terjun tersembunyi di Desa Kandangan, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang.
Dalam balutan atribut adat suku Tengger, mereka menggelar peringatan HUT ke-80 RI dengan cara yang tak bias, menyuarakan kemerdekaan yang bersanding dengan seruan menjaga alam.
Upacara itu diadakan oleh komunitas TREMOR kelompok ekowisata lokal yang aktif mempromosikan pelestarian lingkungan bersama Terrae Homestay, sebuah penginapan ramah lingkungan yang menjadi mitra kegiatan.
Baca juga: Sarung dan Kopyah Merah Putih, Nasionalisme yang Membumi dari Santri Lumajang
Sebanyak 18 peserta, mayoritas anak muda, menempuh jalur licin dan menanjak sejauh beberapa kilometer untuk mencapai lokasi. Namun kelelahan fisik itu seakan menguap ketika mereka tiba di lokasi air terjun yang masih perawan, jauh dari kebisingan dunia luar.
Tepat pukul delapan pagi, suara lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang, berpadu harmonis dengan suara alam: gemericik air, kicau burung, dan desir angin di sela daun. Tiang bendera tak lain hanyalah sebilah bambu tinggi yang ditancapkan kuat di tanah basah, tempat Merah Putih berkibar gagah.
Tidak ada protokol resmi, tidak ada pejabat, dan tidak ada panggung kehormatan. Namun khidmat dan kesungguhan yang terpancar dari wajah para peserta justru membuat momen ini terasa lebih sakral.
Baca juga: Lebih dari 50% Warga Binaan Lapas Lumajang Diusulkan Remisi
Menurut Fanzha Zhimran, anggota TREMOR, upacara ini sengaja digelar di tengah alam sebagai bentuk simbolis dari perjuangan generasi masa kini.
“Dulu para pejuang berjuang dengan bambu runcing, hari ini kita berjuang dengan menjaga hutan, sungai, dan air terjun agar tidak rusak.
Alam Indonesia adalah bagian dari kemerdekaan yang harus kita pertahankan,” katanya, Minggu (17/8/25).
Tak sekadar seremoni, kegiatan ini membawa pesan yang kuat tentang pelestarian lingkungan.
Dalam sesi refleksi yang dilakukan setelah upacara, peserta berdiskusi mengenai tantangan ekowisata di daerah mereka mulai dari sampah wisatawan, alih fungsi lahan, hingga minimnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian sumber daya alam.
Baca juga: Dua Kepala Desa di Malang Diperiksa KPK, Usut Dana Hibah Rp135 Juta untuk Jalan Rabat Beton
“Kami ingin menunjukkan bahwa nasionalisme bukan hanya soal menghafal lagu wajib atau berdiri tegak saat upacara, tapi juga soal aksi nyata menjaga tanah air kita, secara harfiah,” tutur Fanzha lagi.
Kegiatan ditutup dengan doa bersama dan aksi bersih-bersih di area sekitar air terjun. Sampah plastik, bekas makanan, dan benda asing lainnya dikumpulkan dalam kantong khusus untuk dibawa turun.
Setiap peserta juga diminta membawa kembali sampah masing-masing sebagai bentuk tanggung jawab personal.
Meskipun sederhana, kegiatan ini menyisakan kesan mendalam. Bagi para peserta, ini bukan hanya pengalaman spiritual atau fisik, tetapi juga semacam panggilan.
Panggilan untuk kembali merangkul alam sebagai bagian dari identitas bangsa, dan menjadikan peringatan kemerdekaan sebagai momentum untuk memulai perjuangan baru perjuangan melawan kerusakan lingkungan.
“Kami berharap kegiatan seperti ini bisa jadi inspirasi bagi komunitas lain. Bahwa merayakan kemerdekaan bisa dilakukan dengan cara yang lebih bermakna dan relevan dengan kondisi zaman sekarang,” ucap salah satu peserta, Tika, mahasiswi asal Lumajang.
Di tengah krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang kian nyata, aksi kecil seperti ini mungkin terlihat sepele. Namun justru di situlah kekuatannya, dari komunitas kecil, dari tempat tersembunyi, dari suara-suara yang sering diabaikan.
Mereka membuktikan bahwa cinta tanah air tak harus teriak dari podium tinggi. Bisa juga lewat langkah pelan menyusuri hutan, mengibarkan bendera di puncak air terjun, dan memungut sampah di tanah yang mereka cintai.
Tinggalkan Balasan