Lumajang, – Di kaki Gunung Semeru yang menjulang gagah, Desa Sumberurip berdiri dengan tenang, membawa harmoni antara keindahan alam dan kehidupan masyarakat yang bersahaja.
Tapi, di balik ketenangan itu, ada denyut budaya yang tak pernah padam, meski geliat wisata modern mulai menyusup ke lorong-lorong desa.
Ketika desa-desa lain berlomba mengejar tren wisata kekinian, Sumberurip justru memperkuat akarnya. Membatik, bertani, beternak, dan menjaga kesenian lokal bukan hanya sekadar rutinitas, tapi juga identitas yang dirawat dengan penuh kebanggaan.
Baca juga: Saya Tak Menyangka Indonesia Punya Ini! Tumpak Sewu Bikin Turis Asing Terpukau
“Kami ingin wisata datang ke desa, tapi desa tidak kehilangan jati dirinya,” ujar salah satu warga Desa Sumberurip, Cipto (50), Minggu (5/10/2025).
Di sebuah pendopo kecil berlantai semen, beberapa ibu duduk menghadap kompor kecil dan kain putih yang dibentangkan.
Aroma malam dan lilin panas memenuhi udara. Di sinilah, batik khas Sumberurip dilahirkan, dengan motif-motif terinspirasi dari alam sekitar, gunung, daun kopi, dan aliran sungai.
Baca juga: Dari Air Terjun Megah ke Lintasan Lahar, Sensasi Ekstrem di Tumpak Sewu dan Lavatour Pronojiwo
Program belajar membatik bersama warga menjadi salah satu daya tarik wisata edukatif. Tak sedikit wisatawan, terutama anak-anak sekolah, datang untuk belajar mencanting dan memahami filosofi di balik setiap motif.
“Batik di sini bukan hanya seni. Ini cara kami bercerita tentang desa,” kata Bu Lastri, salah satu perajin batik lokal.
Di Sumberurip, budaya bertani bukan sekadar kegiatan ekonomi, tapi cara hidup. Pengunjung bisa merasakan langsung bagaimana rasanya menanam salak, memandikan sapi, hingga memanen padi sambil mendengar kisah masa kecil dari petani yang mengajaknya.
Tradisi seperti budidaya mina padi menggabungkan penanaman padi dengan pemeliharaan ikan menjadi contoh kearifan lokal yang tak hanya lestari, tapi juga berkelanjutan.
“Anak-anak kota jadi tahu, makanan itu tidak tumbuh di supermarket,” canda salah satu petani Sarno, sambil menunjukkan kolam kecil di tengah sawah.
Desa Sumberurip paham benar: pariwisata harus membaur, bukan mengganggu. Maka ketika Lava Tour Semeru dan spot-spot Instagramable mulai ramai dikunjungi, warga bersepakat satu hal budaya harus tetap jadi tuan rumah di negeri sendiri.
Dari strategi pelatihan pemandu lokal hingga penataan wisata edukatif, semua dirancang agar wisatawan tak hanya datang dan pergi, tapi membawa pulang cerita, pelajaran, dan penghargaan atas kehidupan desa.
Tinggalkan Balasan