Lumajang, – Di ujung jalan desa yang tenang, diapit ladang hijau dan semilir udara kaki gunung, berdiri sebuah kedai kecil yang menyimpan harapan besar. Di sinilah Siswanto yang akrab disapa Pak Sis menyeduh cita-cita dari cangkir demi cangkir kopi, agar kopi dari daerahnya dikenal dunia.
Desa Kandang Tepus, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, mungkin terdengar asing bagi pencinta kopi luar kota. Tapi bagi yang sudah sempat duduk dan menyeruput kopi buatan tangan Pak Sis, rasa dan kualitasnya sulit untuk dilupakan.
“Kopinya bersih, clean. Rasa manisnya alami, nggak perlu ditambah gula. Di tenggorokan halus, tapi tetap ada rasa yang nyantol. Itu kekuatan kopi dari sini,” jelasnya.
Baca juga:Bodi Tipis, Rasa Lengkap: Kopi Lumajang Bukan Sekadar Minuman
Ia tahu betul, rasa saja tak cukup untuk menjual kopi ke dunia. Dibutuhkan sesuatu yang lebih: citra, nama, dan konsistensi.
“Branding itu penting, Mas. Kita di sini sudah punya rasa dan kualitas. Tinggal kemasannya. Tinggal diberi cerita,” tambahnya.
Letak geografis Lumajang yang berada di dataran tinggi dengan iklim sejuk dan tanah vulkanik menjadikannya lokasi ideal untuk tumbuhnya kopi arabika dan robusta berkualitas. Namun, selama ini, kopi dari wilayah ini sering kali dijual sebagai bahan mentah, bukan sebagai produk jadi dengan identitas kuat.
“Kita ini baru jual rasa, belum jual nama. Padahal kopi kita bisa bersaing,” ujar Pak Sis, sambil menunjukkan beberapa contoh kopi hasil sangrai manual yang ia sajikan ke tamu-tamunya.
Ia bermimpi, suatu saat nanti kopi dari Lumajang tak lagi hanya dijual curah. Tapi dipajang di rak-rak kafe internasional, dengan label “Kandang Tepus Origin Lumajang, East Java”.
Pak Sis tak menunggu bantuan datang. Ia mulai dari kedainya sendiri. Ia edukasi pelanggan tentang cara minum kopi murni tanpa gula, memperkenalkan teknik uansut menyesap pelan, agar rasa kopi terasa utuh, bukan tergesa.
Ia juga rutin berdiskusi dengan petani sekitar, mengajak mereka menjaga kualitas panen, memperbaiki proses pasca-panen, dan menghindari jual beli cepat ke tengkulak.
“Yang penting kita mulai dulu. Saya mulai dari sini, dari kedai kecil ini. Kalau branding besar belum bisa, ya kita branding kecil-kecilan,” katanya sambil menuang kopi ke cangkir tamu yang baru datang.
Baginya, kopi adalah warisan. Bukan hanya rasa, tapi juga semangat dan peluang. Ia berharap anak muda Lumajang bisa melihat kopi bukan cuma sebagai komoditas, tapi sebagai pintu menuju dunia.
“Saya ini hanya pembuka jalan. Nanti biar generasi muda yang lanjut. Kalau mereka bisa bikin merek, kemas dengan baik, jual ke luar negeri, itu rejeki kita semua,” tuturnya dengan mata berbinar.
Tinggalkan Balasan