Lumajang, – Dewangga Naufal Al Yusen, santri Pondok Pesantren Asy-Syarify 01 Lumajang, harus menanggung derita panjang setelah menenggak larutan Hydrochloric Acid (HCL) yang diduga diberikan temannya.
Akibat insiden itu, Dewangga mengalami kerusakan serius pada saluran pencernaan dan kini tak bisa makan seperti biasa.
Setiap hari, tubuh Dewangga hanya bisa menerima asupan melalui selang yang terhubung langsung ke perutnya. Ia membutuhkan dua kaleng susu medis khusus per hari, dengan harga Rp 500 ribu per kaleng.
Artinya, Rp 1 juta per hari hanya untuk kebutuhan susu belum termasuk obat-obatan, kontrol rutin, dan biaya perawatan lainnya.
Namun, di tengah penderitaan yang dialami, keluarga Dewangga hanya menerima kompensasi total Rp 1,4 juta dari keluarga pelaku hingga saat ini.
Baca juga: Lumajang Kurangi Ketergantungan Bantuan, PKH Cetak Ratusan Keluarga Mandiri
“Mereka bilang bertanggung jawab, tapi ya seadanya. Kami diberi Rp 1 juta waktu pertama, lalu Rp 200 ribu lagi saat mediasi di desa. Itu saja,” kata Ratna Purwati, ibu Dewangga, dengan mata berkaca-kaca, Kamis (2/10/2025).
Peristiwa bermula tiga bulan lalu ketika Dewangga yang baru masuk kamar pesantren meminum cairan dalam botol hijau yang dikira minuman soda. Cairan itu ternyata adalah HCL, larutan kimia yang sangat korosif.
Temannya, yang memegang botol tersebut, diduga tidak memperingatkan bahaya cairan itu dan bahkan sempat tertawa saat Dewangga muntah-muntah usai meneguknya.
Sedangkan pihak pondok sempat mengadakan dua kali mediasi antara keluarga korban dan keluarga pelaku. Pesantren bahkan sempat mengajukan proposal ganti rugi senilai Rp 7,5 juta sebagai bentuk tanggung jawab keluarga pelaku atas insiden tersebut. Tapi, kesepakatan tak pernah tercapai.
Baca juga: Konflik Terbuka Bupati vs Wakil Bupati di Jember dan Sidoarjo, Pemerintahan Terancam Mandek
“Kami tidak minta banyak. Yang penting anak kami bisa terus berobat. Tapi mereka tidak mau menyanggupi. Cuma kasih uang seadanya lalu tidak ada kabar lagi,” ujar Ratna.
Pertemuan ketiga yang dimediasi oleh pemerintah desa pun tidak membuahkan hasil berarti, hanya menyisakan tambahan Rp 200 ribu sebagai bantuan.
Dengan latar belakang keluarga sederhana sang ayah bekerja sebagai buruh pabrik kayu, dan ibu sebagai ibu rumah tangga Ratna akhirnya memutuskan untuk membuka donasi publik demi bisa memenuhi kebutuhan harian pengobatan anaknya.
Ada dua jalur donasi yang dibuka, yakni Kitabisa.com oleh pihak pesantren: kitabisa.com/campaign/pedulidewanggayangtengahberjuang. Rekening pribadi atas nama Ratna Purwati: BCA 3870361580 Ratna Purwati.
“Kitabisa memang membantu, tapi proses pencairan lama. Padahal tiap hari butuh susu dan alat medis. Makanya kami juga buka donasi lewat rekening sendiri,” jelas Ratna.
Ratna tak menyembunyikan kekecewaannya. Menurutnya, kasus ini seharusnya bisa menjadi tanggung jawab bersama, terutama karena anaknya menjadi korban, bukan pelaku.
Di balik angka Rp 1,4 juta dan Rp 225 juta, tersimpan cerita seorang anak yang kini hidup bergantung pada selang dan susu, serta seorang ibu yang setiap hari berharap keajaiban datang dalam bentuk bantuan dari orang-orang baik.
Tinggalkan Balasan