Lumajang, – Dusun Sumbersari, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, pernah menjadi tempat di mana suara anak-anak berlarian menyatu dengan denting peralatan dapur, dan warga saling menyapa di halaman rumah mereka.
Namun kini, semuanya berubah hanya dalam waktu beberapa jam. Erupsi Gunung Semeru menyapu habis kehidupan yang selama puluhan tahun dibangun masyarakatnya menghilangkan satu dusun begitu cepat, seolah waktu dipercepat tanpa memberi kesempatan bagi siapa pun untuk bersiap.
Ketika debu mulai mengendap dan lahar berhenti mengalir, warga yang kembali hanya menemui pemandangan yang mematahkan hati. Puluhan rumah yang dulu berdiri kokoh telah hilang tak berbentuk.
Hanya fondasi yang berserakan, tembok yang tinggal separuh, bak mandi yang berdiri sendirian tanpa rumah yang menaunginya, serta potongan kayu yang terlempar jauh dari tempat semula.
Bagi mereka yang menyaksikan, pemandangan itu seperti melihat sebuah buku kehidupan yang sobek halaman demi halaman hingga tak tersisa ceritanya.
Tak hanya rumah warga, dua mushala dan gedung SDN 2 Supiturang ikut rata dengan tanah. Tempat ibadah yang dulu menjadi pusat ketenangan dan sekolah yang menjadi harapan masa depan anak-anak kini hanyalah puing dan debu.
Di tempat di mana biasanya terdengar lantunan doa dan riuh tawa murid-murid, kini hanya ada kesunyian panjang yang memantulkan betapa dahsyatnya amukan Semeru.
Warga yang melangkah kembali ke dusun mereka tampak seperti memasuki tempat asing. Mereka berdiri terpaku, menatap puing dengan mata yang tak mampu menyembunyikan keterkejutan.
“Tidak pernah terbayang rumah yang kami bangun bertahun-tahun hilang dalam hitungan jam,” kata Roni, warga setempat, Jumat (21/11/2025).
Bencana datang cepat, menyapu semua yang disentuhnya. Dalam gelap malam, warga berlari menyelamatkan nyawa, meninggalkan rumah dan barang-barang berharga tanpa sempat menengok ke belakang. Ketika mereka kembali di pagi hari, desa mereka telah hilang. Tidak berubah, tapi hilang.
Dusun Sumbersari kini bukan lagi tempat tinggal, melainkan kenangan yang tertimbun di balik lumpur dan reruntuhan. Setiap sisi dusun menyimpan cerita tentang kehidupan yang terampas tiba-tiba: dapur tanpa dinding, mushala tanpa atap, sekolah tanpa kelas. Dusun ini lenyap dalam semalam, meninggalkan luka mendalam yang tak akan pulih dalam waktu dekat.
Namun di balik kehancuran itu, para penyintas tetap saling menggenggam satu sama lain, berusaha bangkit dari sunyi, dari puing, dari ingatan yang masih terasa terlalu perih untuk dikenang.
“Dusun boleh hilang, tetapi semangat warganya untuk bertahan tidak akan ikut hilang bersama tanah yang tergerus lahar,” kata dia dengan nada tegas.
Tinggalkan Balasan