Lumajang, – Di tengah hawa sejuk lereng Gunung Semeru, sebuah kedai kopi di Desa Kandang Tepus, Kecamatan Senduro, menyuguhkan lebih dari sekadar minuman. Di sana, Pak Siswanto, sang pemilik, punya misi sederhana tapi dalam: mengedukasi orang tentang rasa yang jujur.
Tidak ada gula dalam cangkir kopi yang disajikannya setidaknya bukan yang otomatis tercampur. Gula hanya disediakan terpisah, dan bahkan itu pun dengan pesan khusus.
“Coba dulu kopi aslinya, Mas. Kalau belum butuh gula, jangan ditambah. Karena di situ rasa sejatinya muncul,” kata Pak Sis sambil menuang seduhan hangat ke cangkir tamu yang datang, Minggu, (13/7/25).
Baca juga: Bodi Tipis, Rasa Lengkap: Kopi Lumajang Bukan Sekadar Minuman
Bagi Pak Sis, kopi bukan hanya soal pahit atau manis. Tapi soal kejujuran rasa. Dan kejujuran itu, katanya, hanya bisa ditemukan jika kopi tidak “ditutup-tutupi” oleh pemanis buatan.
“Kopi itu seperti hidup. Kalau kamu tambahi terus dengan hal manis yang tidak perlu, ya nggak tahu rasa aslinya kayak apa,” kata dia.
Baca juga: Raperda Perubahan APBD 2025 Disahkan, Lumajang Perkuat Pembangunan yang Responsif dan Akuntabel
Ia percaya, tubuh manusia sebenarnya bisa mengenali kualitas rasa kopi yang baik manis alami, rasa bersih, dan aftertaste yang halus. Tapi itu semua hilang saat ditenggelamkan dalam gula, krimer, dan zat tambahan lain.
“Kalau kopi murni, itu cucu bisa jadi obat. Bikin kuat. Nggak bikin lemas kayak kopi-kopi kemasan yang manisnya kebangetan,”
Mengedukasi soal kopi murni bukan hal mudah, terutama di daerah di mana kopi instan sachet sudah jadi budaya bertahun-tahun. Tapi Pak Sis sabar. Ia mulai dari tamu-tamu yang mampir. Ia beri mereka pilihan: “Coba dulu tanpa gula.”
Lambat laun, banyak yang mulai menyadari: ternyata kopi tanpa gula pun bisa enak. Bahkan, lebih “hidup”.
“Saya lihat sendiri perubahan itu. Dulu orang kalau ngopi, langsung minta manis. Sekarang mereka bilang, ‘Pak, kayaknya enakan asli ya?’ Nah itu yang bikin saya semangat,” ujarnya.
Salah satu ciri khas kedai Pak Sis: gula tidak disajikan di dalam gelas. Ia memisahkannya. Bukan semata gaya, tapi sebagai pernyataan sikap.
“Kalau kita pisahkan, artinya kita beri pilihan. Bukan memaksa lidah orang. Tapi kita arahkan supaya mereka tahu: oh, ternyata kopi asli tuh begini,” katanya.
Menurutnya, terlalu lama masyarakat menganggap kopi harus manis agar bisa dinikmati. Tapi di balik itu, ada rasa, karakter, bahkan kisah yang hilang.
“Rasa itu kayak cerita. Kalau ditutup pemanis, cerita aslinya nggak muncul,” ungkapnya.
Pak Sis tidak hanya menjual kopi, ia menawarkan kesadaran. Bahwa dalam setiap cangkir ada proses, dari petik sampai seduh. Dan semua itu layak dihargai dengan cara minum yang benar.
“Saya ajak orang untuk pelan-pelan minum kopi. Dirasa, dinikmati, dikenali. Biar tahu mana yang benar-benar kopi, mana yang hanya rasa buatan,”
Di tangan Pak Sis, kopi bukan sekadar pelepas kantuk. Ia menjadi alat pendidikan rasa. Karena hidup pun, katanya, akan lebih jelas kalau kita tidak menambahinya terlalu banyak pemanis.
Tinggalkan Balasan