Lumajang, – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lumajang menyerukan pentingnya keseragaman sikap kepala daerah di seluruh Jawa Timur terkait penyikapan terhadap Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2025 tentang penggunaan sound horeg.
Ketua MUI Lumajang, KH. Achmad Hanif, menegaskan bahwa instruksi resmi dari Gubernur Jawa Timur sangat diperlukan agar implementasi fatwa tidak menimbulkan perbedaan kebijakan antarwilayah.
“Dari sekian yang tertulis dalam fatwa itu, diharapkan Gubernur Jawa Timur untuk menginstruksikan kepada kepala daerah bupati dan wali kota se-Jawa Timur agar memiliki penyikapan yang sama, yang sama bagusnya ke seluruh wilayah,” ujar KH. Hanif kepada awak media, Kamis (17/7/25), usai pertemuan dengan Bupati Lumajang.
Baca juga: Libatkan Residivis, Aksi Pencurian Sapi di Lumajang Terungkap Lewat Jejak Rekan Lama
Fatwa MUI yang dirilis secara nasional itu mengatur tentang pembatasan penggunaan pengeras suara besar (sound horeg) dalam kegiatan masyarakat yang dianggap berpotensi mengganggu ketertiban umum dan nilai moral.
Namun hingga kini, fatwa tersebut belum bersifat mengikat secara administratif di daerah, dan masih berada pada tahap diskusi terbuka.
“Baru saja terjadi diskusi, dan Alhamdulillah berlangsung dengan bagus. Kita semuanya diminta untuk bisa menyikapi secara provosional. Belum ada keputusan final, ini baru diskusi saja,” jelas KH. Hanif.
Baca juga: Pasca Kericuhan, MUI Haramkan Sound Horeg: Pemkot Malang Siapkan Langkah Pencegahan
Dalam konteks otonomi daerah, MUI Lumajang menilai penting adanya regulasi atau instruksi lanjutan dari pemerintah provinsi agar tidak terjadi ketimpangan dalam penerapan fatwa di tingkat lokal.
Menurut KH. Hanif, ketidaksamaan sikap antar kabupaten/kota bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat dan bahkan membuka potensi konflik horizontal.
“Jangan sampai ada daerah yang menyikapi terlalu ketat, sementara daerah lain longgar. Ini bisa menimbulkan kebingungan dan kesenjangan antar masyarakat,” katanya.
Baca juga: Penguatan Peran Masyarakat dan Kolaborasi Multisektor dalam Pengelolaan Sampah Pasuruan
KH. Hanif juga menyampaikan bahwa MUI Lumajang tetap membuka ruang dialog dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan pelaku kegiatan hiburan rakyat agar penyikapan terhadap sound horeg tidak bersifat reaktif, melainkan edukatif dan solutif.
“Kita tidak ingin masyarakat hanya dilarang tanpa diberikan pemahaman. Intinya bukan soal melarang, tapi bagaimana menjaga keseimbangan antara hiburan dan ketertiban,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan