Karnaval, Tradisi, dan Dentuman: Dilema Budaya di Tengah Desa - Lensa Warta

Menu

Mode Gelap
Khofifah Serahkan Santunan Rp10 Juta untuk Keluarga Korban KMP Tunu Pratama Jaya yang Tenggelam di Selat Bali Nggak Pake Ribet! Ini Cara Membaca Pesan WhatsApp Tanpa Membuka Chat RSNU Permata Lumajang Diproyeksikan Jadi Rumah Sakit Unggulan Berbasis Nahdliyin RSNU Lumajang Gelar Operasi Bibir Sumbing Gratis untuk Puluhan Warga Tak Mampu Bupati Lumajang: RSNU Harus Jadi Rumah Sakit Inklusif untuk Semua Golongan

Nasional · 18 Jul 2025 16:06 WIB ·

Karnaval, Tradisi, dan Dentuman: Dilema Budaya di Tengah Desa


 Karnaval, Tradisi, dan Dentuman: Dilema Budaya di Tengah Desa Perbesar

Lumajang, – Suara dentuman musik remix menggema di antara deretan rumah warga Desa Candipuro, Kecamatan Candipuro.

Ratusan warga berjejer di pinggir jalan, menanti iring-iringan karnaval yang menjadi hiburan tahunan paling dinanti. Di tengah perdebatan soal sound horeg, banyak warga justru melihatnya sebagai bagian tak terpisahkan dari tradisi desa.

“Saya tunggu satu tahun untuk ini. Anak-anak senang, saya pun merasa hidup lagi. Karnaval bukan sekadar hiburan. Ini tradisi, ini kebanggaan desa,” kata Linda (36), warga setempat, Jumat (18/7/25).

Baca juga: Data Bansos Tak Akurat, Bupati Jember Gandeng Mahasiswa KKN

Karnaval dengan iringan sound system berdaya besar dikenal warga sebagai sound horeg telah menjadi simbol kemeriahan dan perayaan di banyak desa di Lumajang, khususnya sejak pandemi berakhir.

Tiap kelompok pemuda berlomba tampil seunik mungkin: dari kostum kreatif hingga kendaraan hias, semua berpadu dengan irama koplo dan remix yang memekakkan telinga.

Baca juga: Menanti Instruksi Gubernur, MUI Lumajang Minta Kepala Daerah Kompak Soal Sound Horeg

Bagi sebagian warga, seperti Santo (43), dentuman bukan gangguan, melainkan penanda bahwa desa sedang bersuka cita.

“Kalau nggak ada suara keras, rasanya nggak meriah. Ini momen kami menikmati hidup bareng-bareng,” ujarnya.

Namun, tidak semua menyambut hangat tradisi ini. Sejumlah warga, terutama orang tua dan pemilik bayi, mulai merasa terganggu. Suara yang terlalu keras bahkan membuat genteng rumah bergetar dan anak-anak kesulitan belajar.

Baca juga: Hadapi Transisi SD ke SMP, MPLS Surabaya Bantu Siswa Baru Beradaptasi Secara Menyeluruh

“Saya nggak anti hiburan. Tapi jangan dari jam 2 siang sampai malam terus. Anak saya mau tidur susah, belajar juga nggak fokus,” keluh Bu Murni (50), warga lainnya.

Di tengah semarak budaya ini, muncul suara lain dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lumajang yang mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025, menyerukan pelarangan penggunaan sound horeg.

Mereka menyebut penggunaan volume ekstrem sebagai bentuk kemudaratan yang bisa mengganggu ibadah dan ketertiban umum.

Ketua MUI Lumajang, KH. Achmad Hanif, menjelaskan bahwa saat ini fatwa masih dalam tahap diskusi terbuka dan belum mengikat.

“Kita minta agar daerah menyikapinya secara proporsional. Ini masih dibicarakan,” ujarnya usai bertemu dengan Bupati Lumajang, Kamis (17/7/25).

Artikel ini telah dibaca 10 kali

badge-check

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tradisi Tak Lekang Waktu, Bhakti Penganyar Jadi Jembatan Budaya Bali dan Jawa

18 Juli 2025 - 10:00 WIB

Cerita Pilu Siti Fatimah, Ibu Lansia yang ‘Dibuang’ Anak Kandung ke Panti Jompo Malang

17 Juli 2025 - 20:39 WIB

Menanti Instruksi Gubernur, MUI Lumajang Minta Kepala Daerah Kompak Soal Sound Horeg

17 Juli 2025 - 19:18 WIB

Sound Horeg Diproses Seperti Kegiatan Umum Lain, Tapi Ada Pengecekan Khusus

17 Juli 2025 - 19:08 WIB

Pasca Kericuhan, MUI Haramkan Sound Horeg: Pemkot Malang Siapkan Langkah Pencegahan

15 Juli 2025 - 20:14 WIB

Kendaraan Roda Tiga, Termasuk Milik Pemerintah, Dapat Fasilitas Pemutihan Pajak

15 Juli 2025 - 16:12 WIB

Trending di Nasional