Lumajang, – Praktik penyelewengan solar subsidi di Lumajang membuka fakta mengejutkan mengenai aliran uang haram yang menguntungkan jaringan mafia BBM. Dengan pola kerja terorganisir antara oknum SPBU, penimbun, hingga perusahaan industri, bisnis ilegal ini menghasilkan keuntungan miliaran rupiah, sementara negara menanggung kerugian yang tak kalah besar.
Temuan ini mencuat setelah Bupati Lumajang, Indah Amperawati, melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap penimbun solar di SPBU Desa Labruk Lor, Senin (3/11/2025). Dari aksi tersebut terungkap struktur keuntungan berlapis yang selama ini menggerus anggaran subsidi dan menyebabkan kelangkaan solar bagi masyarakat.
Kelompok pertama yang mendapat keuntungan adalah oknum petugas SPBU. Mereka menerima selisih Rp 300 per liter dari pembelian solar curang oleh penimbun.
Jika dalam sehari penimbun mendapat 1.000 liter solar subsidi, maka oknum operator bisa mengantongi sekitar Rp 300.000 per hari. Dalam setahun, jumlah ini membengkak menjadi Rp 109.500.000.
Baca juga: Bupati Lumajang OTT Penimbunan Solar, Ungkap Rantai Mafia BBM dari SPBU hingga Industri
Meski menjadi kelompok dengan keuntungan paling kecil, peran mereka penting sebagai pintu pertama yang memungkinkan praktik ini berjalan.
Kelompok kedua adalah penimbun solar subsidi, aktor yang memindahkan BBM dari SPBU ke perusahaan industri.
Dengan harga beli Rp 7.100 per liter dari SPBU dan harga jual Rp 9.000 per liter ke perusahaan, penimbun meraup keuntungan Rp 1.900 per liter.
Setiap hari, rata-rata 2.000 liter solar dijual ke perusahaan. Artinya, keuntungan harian, Rp 1.900 × 2.000 = Rp 3.800.000.
Sementara, keuntungan tahunan, Rp 3.800.000 × 365 = Rp 1.387.000.000. Yang artinya, bisnis gelap BBM memiliki margin besar dan beroperasi secara intensif.
Baca juga: Jejak Digital Ungkap Penimbunan Solar, Pelaku Gunakan Grup WhatsApp Khusus Labruk
Pelaku dengan keuntungan terbesar adalah perusahaan industri yang membeli solar subsidi secara ilegal. Harga solar industri berada di kisaran Rp 20.000 per liter, sementara mereka membeli dari penimbun hanya Rp 9.000.
Dengan selisih Rp 11.000 per liter, perusahaan dapat menghemat, Rp 22.000.000 per hari (untuk pembelian 2.000 liter), Rp 8.030.000.000 per tahun.
Praktik ini membuat perusahaan yang seharusnya membayar harga penuh justru menikmati subsidi yang tidak pernah ditujukan untuk mereka.
Menurut data Pertamina, harga asli solar adalah Rp 13.500 per liter. Dengan subsidi Rp 6.700, harga jual kepada masyarakat menjadi Rp 6.800. Ketika 1.000 liter solar subsidi diselewengkan setiap hari oleh jaringan mafia, negara kehilangan, Rp 6.700.000 per hari, Rp 2.445.500.000 per tahun.
Kerugian ini hanya dari satu modus penimbunan. Jika praktik serupa terjadi di banyak titik, potensi kerugian negara bisa meningkat berkali lipat.
Di tengah aliran uang miliaran rupiah kepada mafia BBM, masyarakat justru harus menghadapi antrean panjang dan kelangkaan solar subsidi di SPBU. Stok yang seharusnya tersedia bagi warga terserap oleh jaringan penimbun yang menyalurkan solar ke perusahaan.
“Ini jelas merugikan negara dan masyarakat. Solar subsidi untuk rakyat, bukan untuk mereka yang tidak berhak,” tegas Bupati Lumajang Indah Amperawati.
Tinggalkan Balasan