Lumajang, – Kebijakan baru Pemerintah Kabupaten Lumajang yang mewajibkan penggunaan kartu elektronik SKAB terpisah untuk setiap jenis komoditas tambang.
Sistem yang mulai berlaku Agustus 2025 itu justru membebani penambang kecil dan menambah kerumitan dalam proses administrasi pajak tambang.
Melalui sistem ini, setiap jenis material tambang seperti pasir, batu, grosok, dan uruk akan memiliki kartu SKAB masing-masing. Kartu tersebut mencatat identitas komoditas, perusahaan, hingga kendaraan pengangkut.
Lukman, salah satu penambang manual di kawasan Candipuro menyampaikan, meski bertujuan menertibkan pendataan dan mencegah tumpang tindih tarif, penerapannya belum mempertimbangkan kesiapan lapangan, terutama dari sisi ekonomi penambang kecil.
Baca juga: Realisasi Pajak Pasir Baru Rp8 Miliar, Pemkab Lumajang Akui Masih Jauh dari Target
“Untuk yang cuma ambil satu komoditas mungkin tak masalah. Tapi kami yang ambil dua jenis, harus cetak sendiri kartu tambahan. Biaya cetaknya dari mana?” kata Lukman, Senin (21/7/25).
Subhan, salah satu penambang lainnya menyebut kebijakan diferensiasi kartu memang logis dari sisi fiskal dan pengawasan, namun perlu dieksekusi dengan pendekatan sosial-ekonomi yang lebih empatik.
Baca juga: Pakar ITS Imbau Pemkab Lumajang dan Probolinggo Koordinasi Intensif dengan BMKG dan PVMBG
“Kalau tujuannya meningkatkan akurasi data dan PAD, itu bagus. Tapi kalau implementasinya membebani pelaku kecil, maka efeknya bisa kontraproduktif bisa muncul penghindaran pajak atau praktik manipulasi baru,” katanya.
Menanggapu hal itu. Plt. Kabid Perencanaan dan Pengendalian Operasional BPRD Lumajang, Dwi Adi Harnowo, menyatakan bahwa kebijakan ini mengikuti arahan dari Surat Edaran Gubernur Jawa Timur, yang menetapkan tarif berbeda untuk tiap jenis komoditas tambang.
“Tidak bisa disamakan. Tarif pajak pasir dan batu berbeda, jadi kartu SKAB-nya pun harus dibedakan,” kata Dwi.
Tinggalkan Balasan