Surabaya, – Anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Mohammad Saifuddin, mengingatkan Pemerintah Kota Surabaya agar tidak menjadikan Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 29 Tahun 2025 tentang Pencegahan, Pelaporan, dan Pengendalian Gratifikasi sebagai sekadar simbol formalitas di atas kertas.
Menurut Saifuddin, meski regulasi ini merupakan langkah penting dalam memperkuat upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lingkungan birokrasi, keberhasilannya tetap bergantung pada komitmen pelaksanaan di lapangan.
“Aturan ini jangan hanya jadi pajangan. Harus ada bukti nyata bahwa ini dijalankan, terutama sampai di level kelurahan. Kalau hanya jadi slogan, maka tidak akan efektif,” tegasnya saat ditemui di Surabaya, Kamis (4/9/25).
Baca juga: DLH Lumajang Tunda Penataan Taman Anak dan Parkir
Saifuddin mengapresiasi langkah awal Pemkot, seperti pemasangan spanduk, poster, dan flyer antigratifikasi di berbagai titik layanan publik. Namun ia menekankan bahwa kampanye visual semata tidak cukup bila tidak diikuti dengan pengawasan internal yang kuat dan evaluasi berkala.
“Pemasangan materi kampanye memang bagus untuk meningkatkan kesadaran, tapi tanpa pengawasan dan sanksi, itu tidak akan berdampak banyak,” ujarnya.
Baca juga: Dugaan Korupsi Sosperda DPRD Jember Masuk Babak Baru, Tersangka Segera Diumumkan
Ia menyoroti pentingnya perlindungan terhadap pelapor dugaan gratifikasi, agar masyarakat merasa aman dan berani melaporkan praktik-praktik yang mencurigakan.
“Perlindungan pelapor itu krusial. Jangan sampai warga takut untuk melapor karena khawatir akan ada tekanan atau intimidasi,” tambahnya.
Saifuddin mendorong Pemkot Surabaya agar menerapkan prinsip transparansi dalam penanganan laporan gratifikasi, termasuk membuka data ringkas tentang jumlah laporan yang masuk, proses tindak lanjut, dan hasil penyelesaiannya.
“Kalau masyarakat bisa melihat bahwa laporan benar-benar ditangani, itu akan membangun kepercayaan. Jangan sampai kesannya seperti formalitas saja,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan