Surabaya, – Pakar Sosiologi Pendidikan Universitas Airlangga, Prof. Tuti Budirahayu, menyambut baik kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang mewajibkan siswa TK, SD, dan SMP menggunakan bahasa Jawa Krama di sekolah setiap hari Kamis.
Ia menilai program bertajuk“Kamis Mlipis“ ini sebagai langkah strategis dan relevan dalam menjaga eksistensi bahasa daerah di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi.
“Ini upaya penting agar generasi muda di Surabaya tidak kehilangan jati dirinya sebagai Arek Suroboyo atau Wong Jowo. Dengan menggunakan bahasa Jawa Krama, pelajar tidak hanya belajar tata krama, tetapi juga memperkuat identitas sosial dan budaya mereka,” ujar Prof. Tuti saat ditemui di kampus Unair, Selasa (15/7/25).
Baca juga: Hadapi Transisi SD ke SMP, MPLS Surabaya Bantu Siswa Baru Beradaptasi Secara Menyeluruh
Menurutnya, pelestarian bahasa ibu sangat penting karena bahasa merupakan bagian dari warisan budaya tak benda yang mencerminkan nilai-nilai lokal. Di tengah kecenderungan generasi muda yang lebih fasih menggunakan bahasa asing atau bahasa nasional dalam keseharian, program ini dinilai sebagai intervensi yang tepat untuk memperkuat kembali akar budaya lokal.
Namun, Prof. Tuti juga mengingatkan bahwa kebijakan tersebut harus diterapkan secara inklusif dan tidak diskriminatif. Mengingat Surabaya adalah kota metropolitan dengan masyarakat yang sangat plural, ia menyoroti potensi eksklusi bagi siswa yang bukan berlatar belakang etnis Jawa.
“Surabaya bukan hanya milik satu etnis. Tidak semua siswa memiliki kemampuan atau latar belakang budaya yang mendukung penggunaan bahasa Jawa. Jika program ini bersifat wajib dan berdampak pada penilaian akademik, bisa jadi menimbulkan tekanan atau bahkan penolakan dari siswa non-Jawa,” jelasnya.
Karena itu, ia mendorong Dinas Pendidikan Kota Surabaya untuk meninjau kembali aspek kewajiban dalam program tersebut. Ia menyarankan agar pendekatan yang digunakan lebih bersifat edukatif dan menyenangkan, bukan paksaan yang menambah beban siswa.
“Kalau siswa dipaksa, apalagi jika nilai mereka dipengaruhi karena tak bisa berbahasa Jawa, bisa timbul antipati. Justru mereka harus diajak secara kreatif agar tertarik dan merasa senang belajar bahasa Jawa,” tuturnya.
Prof. Tuti menyarankan agar Kamis Mlipis dikemas dengan metode pembelajaran interaktif, seperti permainan, drama, musik, atau storytelling dalam bahasa Jawa. Hal ini dapat menjadi pintu masuk yang lebih ramah bagi siswa lintas budaya untuk mengenal bahasa daerah.
“Dengan model pembelajaran yang have fun, siswa dari luar etnis Jawa pun bisa ikut menikmati dan belajar tanpa merasa dikucilkan. Ini akan memperkuat semangat kebhinekaan di sekolah,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan