Jember, – Ketegangan politik di dua daerah di Jawa Timur kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, konflik antara bupati dan wakil bupati di Jember dan Sidoarjo menjadi sorotan publik, setelah Wakil Bupati Jember Djoko Susanto secara terbuka melaporkan Bupati Muhammad Fawait ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Wakil Bupati Sidoarjo Mimik Idayana mengaku tidak dilibatkan sama sekali dalam pengambilan kebijakan strategis oleh Bupati Subandi.
Situasi ini memunculkan kekhawatiran akan tersendatnya jalannya pemerintahan di kedua daerah tersebut. Konflik internal di pucuk pimpinan daerah tidak hanya mencerminkan disharmoni politik, tetapi juga berdampak langsung terhadap pelayanan publik dan kinerja birokrasi.
“Kasus di Jember dan Sidoarjo hanyalah contoh terbaru dari buruknya relasi politik pasca pilkada. Ketidakharmonisan ini sangat merugikan masyarakat,” kata Mohammad Toha, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, Rabu (1/10/2025).
Baca juga: Viral! Pengakuan Wabup Jember Tuai Respon KPK: Dugaan Korupsi Diselidiki
Toha menyebut konflik ini sebagai “puncak gunung es” dari persoalan yang lebih dalam, yakni ketidakselarasan peran dan komunikasi antara kepala daerah dan wakilnya. Ia menegaskan, kondisi ini telah menyebabkan tarik-menarik kepentingan dan membuat pejabat daerah terbelah antara dua kubu.
Baca juga:Surabaya Menuju Satu Data, Pemutakhiran DTSEN Dimulai 1 Oktober
“Pejabat jadi bingung harus loyal ke siapa. Ini memicu kasak-kusuk birokrasi yang akhirnya mengganggu pelayanan kepada masyarakat,” tambahnya.
Sebagai langkah solutif, Toha meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) turun tangan untuk menyelesaikan konflik yang terbuka ini. Ia menekankan pentingnya peran Kemendagri dalam pembinaan dan pengawasan pemerintahan daerah, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
“Jika ada pelanggaran, Kemendagri bisa memberi sanksi administratif, bahkan meminta perbaikan kebijakan agar pemerintahan tetap berjalan stabil,” tegasnya.
Toha menekankan komunikasi yang sehat dan saling menghormati peran masing-masing adalah kunci utama menjaga stabilitas pemerintahan daerah.
“Bupati dan wakilnya harus duduk bersama, bukan saling jegal. Yang jadi korban konflik ini bukan mereka, tapi rakyat,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan