Lumajang, – Sebanyak 204 pondok pesantren (ponpes) di Kabupaten Lumajang tercatat berdiri dan beroperasi tanpa mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) maupun Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
Fakta ini diungkap langsung oleh Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPKP) Lumajang, yang menyatakan tidak pernah menerima satu pun permohonan PBG dari ponpes sejak tahun 2020.
Padahal, ponpes merupakan lembaga pendidikan berbasis keagamaan yang menampung ribuan santri dari berbagai wilayah, dengan bangunan yang digunakan setiap hari untuk kegiatan belajar-mengajar, asrama, hingga ibadah.
Baca juga: Bermodal kesadaran dan kreativitas, Pemuda Lumajang temukan nilai ekonomi dari limbah MBG
“Selama ini belum pernah ada pondok pesantren yang mengajukan izinnya (PBG). Kalau dulu namanya IMB, sekarang sudah berubah jadi PBG,” kata Fungsional Muda Penata Kelola Bangunan Gedung dan Kawasan Permukiman DPKP Lumajang, Iin Suhariyati Senin (6/10/2025).
Baca juga: Atas Perintah Kejagung, Kejari Jember Serius Usut Kasus Sosperda Rp5,6 Miliar
Tak hanya itu, Iin juga menyebut hingga saat ini DPKP belum pernah menerbitkan satu pun SLF untuk bangunan ponpes. SLF sendiri merupakan dokumen legal yang menyatakan bahwa bangunan tersebut aman, layak huni, dan memenuhi standar teknis.
“Sempat ada satu pengajuan SLF dari pondok pesantren, tapi belum keluar karena hasil evaluasinya belum memenuhi syarat dari sisi teknis bangunan,” tambah Iin.
Yang seharusnya, PBG diajukan sebelum pembangunan dimulai, sebagai bentuk izin resmi atas rencana struktur bangunan di atas lahan. Sementara SLF diajukan setelah bangunan berdiri, sebagai bentuk jaminan bahwa bangunan tersebut sesuai dengan ketentuan teknis, fungsional, serta aman digunakan.
“Kalau bangunan sudah berdiri tapi belum punya PBG, maka proses legalisasinya dilakukan lewat SLF. Tapi dua-duanya tetap wajib dimiliki,” jelasnya.
Secara nasional, masalah ini juga mencuat. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dody Hanggodo, dalam pernyataannya mengungkap bahwa dari lebih 42.433 pondok pesantren yang aktif di Indonesia, hanya sekitar 50 yang memiliki PBG. Jumlah ini menunjukkan rendahnya tingkat kepatuhan terhadap regulasi bangunan pendidikan keagamaan di berbagai daerah.
Tinggalkan Balasan