Jember, – Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pengelolaan wisata Pantai Papuma oleh Pemerintah Kabupaten Jember menuai sorotan dari kalangan mahasiswa.
Aliansi BEM se-Jember mempertanyakan kebijakan tersebut karena dinilai dilakukan di tengah kondisi sosial-ekologis Jember yang belum pulih pascabencana banjir.
Secara administratif, MoU tersebut dipahami sebagai langkah penataan tata kelola destinasi wisata unggulan, mulai dari pembagian kewenangan, optimalisasi pendapatan daerah, hingga penguatan citra pariwisata Jember.
Namun, kebijakan itu dinilai belum selaras dengan kondisi riil masyarakat yang masih terdampak banjir di sejumlah wilayah.
Berdasarkan data yang dihimpun, banjir di Kabupaten Jember berdampak pada 1.428 kepala keluarga. Bencana tersebut juga menyasar kelompok rentan, terdiri dari 94 lansia, 42 balita, tiga ibu hamil, serta 30 santri.
Kondisi ini menunjukkan bahwa Jember masih berada dalam fase pemulihan dan membutuhkan penanganan berkelanjutan.
Koordinator Aliansi BEM se-Jember, Alfin Maulana, menegaskan bahwa kritik yang disampaikan bukan bentuk penolakan terhadap pembangunan sektor pariwisata, melainkan upaya mempertanyakan skala prioritas kebijakan pemerintah daerah.
“Kami tidak anti pariwisata dan tidak menolak MoU Papuma. Namun, hari ini Jember sedang menghadapi krisis pascabanjir. Yang dibutuhkan warga bukan seremoni, melainkan kebijakan pemulihan yang nyata, seperti perbaikan rumah, infrastruktur, dan perlindungan kelompok rentan,” ujar Alfin.
Ia menilai respons pemerintah daerah sejauh ini masih cenderung simbolik dan reaktif, seperti pembagian bantuan sembako pada malam hari. Menurutnya, langkah tersebut penting dalam fase darurat, tetapi belum cukup untuk menjawab persoalan struktural akibat banjir.
“Menyapa warga di dini hari tidak bisa memperbaiki rumah yang roboh, memulihkan akses jalan, atau menjamin banjir tidak terulang. Yang dibutuhkan adalah kebijakan jangka menengah dan panjang, terutama dalam tata kelola lingkungan dan tata ruang,” tambahnya.
Tinggalkan Balasan