Menjelajah Rasa di Kaki Semeru: Kuliner Lumajang yang Menggoda Lidah dan Menyentuh Jiwa - Lensa Warta

Menu

Mode Gelap
Khofifah Serahkan Santunan Rp10 Juta untuk Keluarga Korban KMP Tunu Pratama Jaya yang Tenggelam di Selat Bali Nggak Pake Ribet! Ini Cara Membaca Pesan WhatsApp Tanpa Membuka Chat RSNU Permata Lumajang Diproyeksikan Jadi Rumah Sakit Unggulan Berbasis Nahdliyin RSNU Lumajang Gelar Operasi Bibir Sumbing Gratis untuk Puluhan Warga Tak Mampu Bupati Lumajang: RSNU Harus Jadi Rumah Sakit Inklusif untuk Semua Golongan

Kuliner · 19 Jul 2025 13:48 WIB ·

Menjelajah Rasa di Kaki Semeru: Kuliner Lumajang yang Menggoda Lidah dan Menyentuh Jiwa


 Menjelajah Rasa di Kaki Semeru: Kuliner Lumajang yang Menggoda Lidah dan Menyentuh Jiwa Perbesar

Lumajang, – Di balik megahnya Gunung Semeru yang menjulang gagah di ufuk timur Pulau Jawa, tersembunyi surga kuliner yang belum banyak terjamah.

Lumajang, kota kecil yang dikenal sebagai salah satu pintu gerbang menuju Mahameru, ternyata menyimpan kekayaan rasa yang luar biasa.

Bukan sekadar makanan, tapi warisan budaya, sejarah keluarga, dan cerita kehidupan yang tercermin dalam setiap suapan.

Pagi Hangat Bersama Pecel Godong Jati

Baca juga: Menanti Instruksi Gubernur, MUI Lumajang Minta Kepala Daerah Kompak Soal Sound Horeg

Matahari baru saja mengintip dari balik Gunung Lemongan ketika kami memulai petualangan rasa ini.

Di sebuah sudut Pasar Baru Lumajang, asap mengepul dari tungku tanah liat.

Seorang ibu paruh baya, Bu Sulastri, tengah sibuk meracik sepiring pecel godong jati, kuliner khas Lumajang yang mulai sulit ditemui.

Baca juga: Tragedi Laut di Pasuruan: 1 Tewas, 3 Hilang Akibat Perahu Pemancing Terbalik

Daun jati muda yang direbus, disajikan bersama sayuran rebus seperti kacang panjang, kecambah, dan daun kenikir, lalu disiram sambal kacang yang legit dan pedas menggoda.

Uniknya, daun jati tak hanya sebagai sayur, tapi juga pembungkus alami yang memberi aroma khas pada nasi hangatnya.

“Pecel ini dulu makanan para petani. Daun jati itu simpanan alam, bikin perut kenyang dan tubuh hangat waktu kerja di ladang,” kata Bu Sulastri sambil tersenyum, Sabtu (19/7/25).

Tangannya tak berhenti menyendokkan sambal, tapi matanya menyimpan nostalgia masa kecil yang tak tergantikan.

Baca juga: Rokok Ilegal dan Miras Beredar di Probolinggo dan Lumajang, Bea Cukai Bertindak

Sogol: Si Hitam Legam yang Menawan

Beranjak siang, kami menelusuri Desa Tempeh. Di sebuah warung sederhana yang hanya ditandai spanduk kusam bertuliskan “Warung Sogol Bu Rumi,” antrean mulai mengular.

Sogol, kuliner langka yang hanya dikenal warga lokal, jadi primadona.

Sogol adalah olahan tepung aren yang dikukus dalam daun pisang, berwarna hitam pekat seperti dodol, disajikan dengan parutan kelapa dan kuah santan manis gurih.

Sekilas mirip jenang, tapi teksturnya lebih lembut dan rasanya khas, dengan sentuhan pahit legit dari nira.

“Sogol ini cuma ada di Lumajang. Dulu dibuat nenek saya kalau ada acara hajatan. Sekarang anak muda banyak yang belum kenal,” ujar Bu Rumi sambil mengaduk adonan sogol di loyang besar.

Dalam satu suapan, sogol menyentuh palet dengan rasa yang kompleks. Aroma daun pisang berpadu dengan gurih kelapa dan manis alami nira, menciptakan harmoni rasa yang tak mudah dilupakan.

Baca juga: Dua Kepala Desa di Malang Diperiksa KPK, Usut Dana Hibah Rp135 Juta untuk Jalan Rabat Beton

Tape Pisang dan Pisang Agung Lumajang

Tak lengkap bicara Lumajang tanpa menyebut Pisang Agung varietas pisang raksasa yang hanya tumbuh subur di kaki Semeru.

Dagingnya tebal, manis, dan beraroma khas. Di tangan warga Lumajang, pisang agung disulap menjadi berbagai sajian menggoda: dari keripik, kolak, hingga tape pisang yang unik.

Di Desa Klakah, kami menemukan rumah produksi tape pisang milik Pak Darno. Pisang agung yang matang disusun dalam anyaman bambu, lalu difermentasi selama beberapa hari.

Hasilnya, tape yang lembut, sedikit masam, manis alami, dan punya sensasi alkohol ringan di lidah.

“Kalau dimakan sama serabi atau ketan, luar biasa enaknya,” ujar Pak Darno, sambil mengangkat tutup rigen yang mengepulkan aroma tape.

Malam di Alun-Alun: Dari Soto Lumajang sampai Lontong Petis

Ketika senja menyelimuti kota, aroma rempah mulai memenuhi udara di sekitar Alun-Alun Lumajang.

Di sini, kehidupan malam bukan soal gemerlap lampu, tapi gemerlap rasa.

Warung tenda berjejer, menyajikan soto ayam khas Lumajang dengan kuah kuning hangat dan suwiran ayam kampung yang empuk.

Tak jauh dari situ, lontong petis menjadi pilihan warga yang ingin sajian berat tapi tetap sederhana.

Petis udang khas Lumajang berbeda dari petis Madura atau Surabaya. Teksturnya lebih kental, warnanya lebih gelap, dan rasanya sangat pekat paduan manis, asin, dan sedikit asam.

“Lontong petis ini kayak pelukan malam. Hangat dan ngangenin,” celetuk Dito, seorang mahasiswa rantau yang tak pernah absen menikmati menu ini setiap pulang ke kampung halaman.

Kuliner sebagai Simpul Identitas

Kuliner di Lumajang bukan sekadar perut kenyang. Ia adalah identitas, warisan, dan kebanggaan.

Dalam setiap makanan tersimpan cerita  tentang ibu yang mewariskan resep turun-temurun, tentang petani yang menjaga bahan baku dari ladang hingga dapur, tentang generasi muda yang mulai melirik kembali akar mereka.

Kini, seiring berkembangnya pariwisata dan media sosial, kuliner Lumajang mulai naik daun.

Tapi di tengah popularitas itu, warga setempat berharap satu hal agar kuliner ini tetap dijaga, dilestarikan, dan dicintai tak hanya karena tren, tapi karena nilai hidup yang terkandung di dalamnya.

“Kami tidak ingin sogol hanya jadi konten viral, lalu hilang. Kami ingin anak-anak kami tetap bisa merasakannya, dan tahu bahwa makanan ini adalah bagian dari siapa mereka,” kata Bu Rumi dengan mata berkaca-kaca.

Artikel ini telah dibaca 10 kali

badge-check

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Wedang Angsle, Hangatnya Tradisi dalam Semangkok Kenangan

1 Agustus 2025 - 22:19 WIB

Wedang Angsle

Lebih dari Sekadar Bubur, Teman Setia Jadi Tempat Cerita dan Kebersamaan Warga Surabaya

20 Juli 2025 - 14:25 WIB

Menyeduh Senja di Kaki Semeru, Eksplorasi Tempat Ngopi Dengan Pemandangan Langsung ke Gunung Tertinggi di Jawa

19 Juli 2025 - 20:08 WIB

Kopi Tanpa Gula, Hidup Lebih Jelas: Edukasi Rasa Ala Pak Sis

13 Juli 2025 - 08:27 WIB

Bukan Hanya Ngopi, Ini Tentang Berdiri Tegak dan Komando

13 Juli 2025 - 08:19 WIB

Dari Desa Kandang Tepus, Ada Kopi yang Layak Dibranding Dunia

13 Juli 2025 - 08:10 WIB

Trending di Kuliner