Lumajang, – Serangan hama Wereng Batang Coklat (WBC) terus memukul petani di sejumlah desa di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Salah satunya dialami Munawati, petani asal Desa Boreng, Kecamatan Lumajang, yang mengaku mengalami kerugian besar akibat gagal panen meski sudah melakukan upaya pengendalian secara mandiri.
“Rugi banget kalau sudah begini. Tanaman saya gagal tumbuh sempurna. Sudah disemprot, tetap saja kena,” kata Munawati dengan nada kecewa, Jumat (11/7/25).
Menurutnya, serangan wereng mulai dirasakan sejak Mei lalu, tepat ketika tanaman padi memasuki fase generatif, yaitu saat tanaman membentuk malai dan mulai mengisi bulir. Pada fase ini, wereng menyerang dengan menghisap cairan tanaman, menyebabkan pertumbuhan terganggu hingga tanaman mengering dan mati sebelum panen.
Upaya penyemprotan yang dilakukan Munawati secara mandiri tidak mampu membendung laju serangan hama. “Saya sudah semprot dua kali, bahkan pakai obat yang katanya ampuh, tapi tetap mati. Satu petak sawah habis semua,” ujarnya.
Fenomena ini menggambarkan keterbatasan petani jika harus menghadapi hama secara sendiri-sendiri. Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Lumajang, Ishkak Subagyo, menegaskan pentingnya tindakan kolektif melalui Gerakan Pengendalian Hama Terpadu (Gerdal) yang dilakukan serentak antarpetani dalam satu hamparan.
Baca juga: Diskominfo Lumajang Respons Cepat Regulasi Baru Pranata Humas, Tata Ulang Formasi Berbasis Kebutuhan
“Jika tidak dilakukan secara bersamaan, hama akan terus bermigrasi ke lahan yang belum disemprot. Apalagi saat cuaca lembap dan suhu hangat, perkembangan wereng sangat cepat,” ujar Ishkak.
HKTI juga menyoroti minimnya pengamatan rutin oleh sebagian petani, yang menyebabkan keterlambatan dalam deteksi awal serangan hama. Karena itu, pihaknya terus mendorong petani untuk tidak menunggu hingga parah, melainkan aktif melakukan pemantauan dan berkoordinasi dengan kelompok tani sekitar.
Di tengah serangan yang makin meluas, Pemerintah Kabupaten Lumajang turut mendorong petani untuk mengikuti program Asuransi Usahatani Tanaman Padi (AUTP). Skema ini memungkinkan petani mendapatkan ganti rugi hingga Rp6 juta per hektare apabila gagal panen akibat hama, bencana alam, atau penyakit, selama tingkat kerusakan mencapai minimal 70 persen.
Tahun ini, Pemkab mengalokasikan dana Rp36 juta dari APBD untuk membayar 80 persen premi bagi 1.000 hektare lahan. Petani hanya perlu menanggung 20 persen sisanya, atau sekitar Rp36 ribu per hektare.
“Pemerintah hadir agar petani tidak sendirian saat panen gagal. Asuransi ini adalah bentuk perlindungan yang seharusnya dimanfaatkan,” ujar Analis Prasarana dan Sarana Pertanian DKPP Lumajang, Sukarno Mukti.
Tinggalkan Balasan