Lumajang, – Di tengah tantangan pengelolaan sampah yang kian kompleks, Desa Purworejo, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, tampil sebagai pelopor inovasi pengolahan sampah organik yang tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga memberi nilai ekonomi nyata bagi masyarakatnya.
Dengan mengubah limbah daun dan sampah basah menjadi magot – larva lalat tentara hitam yang kaya protein desa ini membuktikan bahwa sampah bisa menjadi sumber berkah dan peluang usaha.
Selama ini, tumpukan sampah organik di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Lempeni menjadi masalah serius yang mengancam kebersihan dan kesehatan lingkungan. Namun, Desa Purworejo mengambil langkah berbeda dengan memanfaatkan sampah organik sebagai bahan baku utama produksi magot.
“Alih-alih membuang begitu saja, kami olah sampah organik menjadi magot dan pupuk organik. Residu yang tersisa baru kami buang ke TPA, sehingga volume sampah yang masuk ke sana berkurang drastis,” kata Kepala Desa Purworejo, Mokhamad Nyono, Rabu (28/5/25).
Magot yang dihasilkan menjadi sumber pakan alternatif yang sangat dibutuhkan oleh peternak ayam petelur dan lele di desa tersebut. Kandungan protein tinggi pada magot membuatnya menjadi pilihan ekonomis dan sehat untuk meningkatkan produktivitas ternak.
“Kerja sama antara pengelola sampah dan peternak ini menciptakan siklus ekonomi yang saling menguntungkan. Sampah yang dulu dianggap limbah kini menjadi komoditas bernilai,” tambah Nyono.
Keberhasilan program ini juga didukung oleh sistem pengumpulan sampah yang terorganisir. Setiap hari, petugas mengambil sampah dari perumahan, rumah warga, area pertokoan, hingga pasar tradisional.
Sampah plastik dan non-organik dipisahkan untuk dijual kembali, sementara sampah organik langsung diolah menjadi magot dan pupuk.
“Kami saat ini menjaring sampah dari Desa Purworejo dan Desa Karanganom, dengan dukungan penuh dari kepala desa setempat. Rencana kami ke depan adalah memperluas pengumpulan ke desa-desa tetangga dan pasar lain agar dampak positifnya makin luas,” ujar Nyono.
Program ini juga menjadi sumber penghasilan bagi warga desa. Saat ini, empat orang warga dipekerjakan secara langsung untuk mengelola pengumpulan dan pemilahan sampah. Dua bertugas sebagai driver pengangkut sampah, dan dua lainnya fokus pada pemilahan organik dan non-organik.
“Selain menjaga lingkungan, kami juga ingin memberdayakan masyarakat dengan membuka lapangan kerja. Dengan perluasan program, kami berharap bisa merekrut lebih banyak tenaga kerja lokal,” jelasnya.
Untuk diketahui, magot yang diproduksi dijual dengan harga kompetitif, sekitar Rp20.000 per kilogram, sehingga terjangkau bagi peternak lokal. Selain itu, pupuk organik hasil olahan juga diminati petani sebagai alternatif pupuk kimia yang lebih ramah lingkungan.
Tinggalkan Balasan