Karnaval, Tradisi, dan Dentuman: Dilema Budaya di Tengah Desa - Lensa Warta

Menu

Mode Gelap
Cuaca Ekstrem Ancam Jawa Tengah & Jawa Timur, Waspada Hujan Lebat 15–18 September 2025 Pundungsari Park Hadirkan Wahana Baru, Liburan Keluarga Kini Lebih Seru dan Terjangkau Program MBG Lumajang: Dari Pasrujambe, Suapan Bergizi Lahirkan Harapan Generasi Emas Pemkab Lumajang Segarkan Motor Dinas Desa, Layanan Publik Lebih Cepat Cold Storage Perkuat Rantai Pasok Pisang Lumajang ke Pasar Modern

Nasional · 18 Jul 2025 16:06 WIB ·

Karnaval, Tradisi, dan Dentuman: Dilema Budaya di Tengah Desa


 Karnaval, Tradisi, dan Dentuman: Dilema Budaya di Tengah Desa Perbesar

Lumajang, – Suara dentuman musik remix menggema di antara deretan rumah warga Desa Candipuro, Kecamatan Candipuro.

Ratusan warga berjejer di pinggir jalan, menanti iring-iringan karnaval yang menjadi hiburan tahunan paling dinanti. Di tengah perdebatan soal sound horeg, banyak warga justru melihatnya sebagai bagian tak terpisahkan dari tradisi desa.

“Saya tunggu satu tahun untuk ini. Anak-anak senang, saya pun merasa hidup lagi. Karnaval bukan sekadar hiburan. Ini tradisi, ini kebanggaan desa,” kata Linda (36), warga setempat, Jumat (18/7/25).

Baca juga: Data Bansos Tak Akurat, Bupati Jember Gandeng Mahasiswa KKN

Karnaval dengan iringan sound system berdaya besar dikenal warga sebagai sound horeg telah menjadi simbol kemeriahan dan perayaan di banyak desa di Lumajang, khususnya sejak pandemi berakhir.

Tiap kelompok pemuda berlomba tampil seunik mungkin: dari kostum kreatif hingga kendaraan hias, semua berpadu dengan irama koplo dan remix yang memekakkan telinga.

Baca juga: Menanti Instruksi Gubernur, MUI Lumajang Minta Kepala Daerah Kompak Soal Sound Horeg

Bagi sebagian warga, seperti Santo (43), dentuman bukan gangguan, melainkan penanda bahwa desa sedang bersuka cita.

“Kalau nggak ada suara keras, rasanya nggak meriah. Ini momen kami menikmati hidup bareng-bareng,” ujarnya.

Namun, tidak semua menyambut hangat tradisi ini. Sejumlah warga, terutama orang tua dan pemilik bayi, mulai merasa terganggu. Suara yang terlalu keras bahkan membuat genteng rumah bergetar dan anak-anak kesulitan belajar.

Baca juga: Hadapi Transisi SD ke SMP, MPLS Surabaya Bantu Siswa Baru Beradaptasi Secara Menyeluruh

“Saya nggak anti hiburan. Tapi jangan dari jam 2 siang sampai malam terus. Anak saya mau tidur susah, belajar juga nggak fokus,” keluh Bu Murni (50), warga lainnya.

Di tengah semarak budaya ini, muncul suara lain dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lumajang yang mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025, menyerukan pelarangan penggunaan sound horeg.

Mereka menyebut penggunaan volume ekstrem sebagai bentuk kemudaratan yang bisa mengganggu ibadah dan ketertiban umum.

Ketua MUI Lumajang, KH. Achmad Hanif, menjelaskan bahwa saat ini fatwa masih dalam tahap diskusi terbuka dan belum mengikat.

“Kita minta agar daerah menyikapinya secara proporsional. Ini masih dibicarakan,” ujarnya usai bertemu dengan Bupati Lumajang, Kamis (17/7/25).

Artikel ini telah dibaca 14 kali

badge-check

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Hadiah Rp50 Juta, Daftar Gratis! Bupati Cup Catur 2025 Siap Ramaikan Lumajang

26 September 2025 - 12:45 WIB

Gunung Semeru Erupsi Empat Kali Sejak Dini Hari, Kolom Letusan Capai 700 Meter

22 September 2025 - 11:32 WIB

Pemerintah Siapkan Jembatan Semi Permanen, Harapan Baru untuk Warga Empat Desa Lumajang

20 September 2025 - 15:08 WIB

Belum Tuntas Urus Proyek Whoosh, Danantara Kini Dilibatkan dalam Rencana Kereta Cepat ke Surabaya

18 September 2025 - 18:27 WIB

Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Pemerintah Matangkan Kajian, Pendanaan Swasta Jadi Prioritas

18 September 2025 - 18:15 WIB

Sepanjang Bulan Januari Hingga September 2025, Gunung Semeru Erupsi 2.449 Kali

17 September 2025 - 15:30 WIB

Trending di Nasional