Lumajang, – Suara dentuman musik remix menggema di antara deretan rumah warga Desa Candipuro, Kecamatan Candipuro.
Ratusan warga berjejer di pinggir jalan, menanti iring-iringan karnaval yang menjadi hiburan tahunan paling dinanti. Di tengah perdebatan soal sound horeg, banyak warga justru melihatnya sebagai bagian tak terpisahkan dari tradisi desa.
“Saya tunggu satu tahun untuk ini. Anak-anak senang, saya pun merasa hidup lagi. Karnaval bukan sekadar hiburan. Ini tradisi, ini kebanggaan desa,” kata Linda (36), warga setempat, Jumat (18/7/25).
Baca juga: Data Bansos Tak Akurat, Bupati Jember Gandeng Mahasiswa KKN
Karnaval dengan iringan sound system berdaya besar dikenal warga sebagai sound horeg telah menjadi simbol kemeriahan dan perayaan di banyak desa di Lumajang, khususnya sejak pandemi berakhir.
Tiap kelompok pemuda berlomba tampil seunik mungkin: dari kostum kreatif hingga kendaraan hias, semua berpadu dengan irama koplo dan remix yang memekakkan telinga.
Baca juga: Menanti Instruksi Gubernur, MUI Lumajang Minta Kepala Daerah Kompak Soal Sound Horeg
Bagi sebagian warga, seperti Santo (43), dentuman bukan gangguan, melainkan penanda bahwa desa sedang bersuka cita.
“Kalau nggak ada suara keras, rasanya nggak meriah. Ini momen kami menikmati hidup bareng-bareng,” ujarnya.
Namun, tidak semua menyambut hangat tradisi ini. Sejumlah warga, terutama orang tua dan pemilik bayi, mulai merasa terganggu. Suara yang terlalu keras bahkan membuat genteng rumah bergetar dan anak-anak kesulitan belajar.
Baca juga: Hadapi Transisi SD ke SMP, MPLS Surabaya Bantu Siswa Baru Beradaptasi Secara Menyeluruh
“Saya nggak anti hiburan. Tapi jangan dari jam 2 siang sampai malam terus. Anak saya mau tidur susah, belajar juga nggak fokus,” keluh Bu Murni (50), warga lainnya.
Di tengah semarak budaya ini, muncul suara lain dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lumajang yang mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025, menyerukan pelarangan penggunaan sound horeg.
Mereka menyebut penggunaan volume ekstrem sebagai bentuk kemudaratan yang bisa mengganggu ibadah dan ketertiban umum.
Ketua MUI Lumajang, KH. Achmad Hanif, menjelaskan bahwa saat ini fatwa masih dalam tahap diskusi terbuka dan belum mengikat.
“Kita minta agar daerah menyikapinya secara proporsional. Ini masih dibicarakan,” ujarnya usai bertemu dengan Bupati Lumajang, Kamis (17/7/25).
Tinggalkan Balasan